Bagian 1: Kehangatan Lampung Usai Lebaran
Lima hari sudah berlalu sejak Hari Raya Idul Fitri 1446. Di Bandar Lampung, suasana perayaan masih terasa meskipun tidak seramai hari pertama. Kang Ijal, dengan sarung batik kesayangannya dan kopiah hitam yang selalu dikenakannya, sedang menikmati kopi pagi di teras rumahnya. Aroma opor ayam dan rendang sisa Lebaran masih samar tercium di udara.
"Alhamdulillah, Lebaran tahun ini berkah," gumam Kang Ijal sambil membaca koran pagi. Silaturahmi ke sanak saudara di sekitar Bandar Lampung sudah tuntas. Kini, pikirannya tertuju pada rencana selanjutnya: mengunjungi keponakannya di Palembang, Sumatera Selatan, yang baru saja melahirkan anak pertama.
Setelah menghabiskan kopi dan sarapan sederhana, Kang Ijal bersiap-siap. Istrinya, Teh Nia, sudah menyiapkan oleh-oleh khas Lampung seperti keripik pisang dan kopi robusta untuk dibawa ke Palembang.
"Hati-hati di jalan ya, Kang," pesan Teh Nia sambil mencium tangan suaminya.
"Insya Allah, Teh. Titip salam buat anak-anak," jawab Kang Ijal sambil melambaikan tangan sebelum menaiki bus antar kota menuju Palembang.
Perjalanan dari Lampung ke Palembang memakan waktu sekitar enam jam. Kang Ijal menikmati pemandangan sepanjang jalan, dari hamparan sawah hijau hingga perkebunan karet dan sawit yang luas. Ia sesekali berbincang dengan penumpang lain, berbagi cerita tentang Lebaran dan rencana perjalanan masing-masing.
Bagian 2: Kunjungan di Palembang
Sore harinya, Kang Ijal tiba di Palembang. Keponakannya, Rina, dan suaminya, Andre, menyambutnya dengan hangat. Bayi mungil yang baru lahir, diberi nama Bintang, tampak tertidur pulas di gendongan Rina.
"Wah, ganteng sekali Bintang ini, mirip Kang Ijal waktu kecil," celetuk Andre sambil tertawa.
Kang Ijal tersenyum senang. Ia menggendong Bintang dengan hati-hati, merasakan kehangatan tubuh bayi di dekapannya. Beberapa hari di Palembang dihabiskannya dengan bercengkrama bersama keluarga keponakannya, membantu Rina mengurus bayi, dan tentu saja menikmati kuliner khas Palembang seperti pempek dan tekwan.
Suatu malam, sambil menikmati kopi di teras rumah Rina, Kang Ijal menceritakan rencananya untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.
"Ada sedikit urusan di sana, sekaligus ingin menjenguk teman lama yang sudah lama tidak bertemu," kata Kang Ijal.
Rina dan Andre mendukung rencana Kang Ijal. Mereka bahkan menawarkan untuk mengantarkannya ke stasiun kereta api keesokan harinya.
Bagian 3: Kereta Malam Menuju Yogyakarta
Pagi-pagi sekali, Kang Ijal sudah berpamitan dengan Rina, Andre, dan Bintang. Mereka mengantarnya ke stasiun kereta api Kertapati Palembang. Setelah membeli tiket kereta api Sriwijaya menuju Yogyakarta, Kang Ijal menunggu di ruang tunggu.
Kereta api berangkat tepat waktu. Kang Ijal memilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan malam. Perjalanan malam dengan kereta api selalu memberikan kesan tersendiri baginya. Suara roda yang beradu dengan rel, lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan, dan hembusan angin malam yang sesekali masuk melalui celah jendela, semuanya menciptakan suasana yang syahdu.
Ia teringat masa mudanya, ketika sering bepergian dengan kereta api untuk kuliah di Bandung. Banyak kenangan manis dan pahit yang terukir di sepanjang rel kereta api Pulau Jawa.
Bagian 4: Menyusuri Jejak Kenangan di Yogyakarta
Pagi menjelang ketika kereta api tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Kang Ijal meregangkan badannya yang terasa sedikit pegal setelah semalaman duduk di kereta. Udara Yogyakarta yang sejuk menyambut kedatangannya.
Setelah keluar dari stasiun, Kang Ijal memesan becak untuk menuju penginapan sederhana di kawasan Malioboro yang sudah ia pesan sebelumnya. Ia sengaja memilih penginapan yang dekat dengan pusat kota agar mudah untuk bepergian.
Setibanya di penginapan, Kang Ijal membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Setelah itu, ia keluar untuk menikmati suasana pagi di Malioboro yang mulai ramai dengan aktivitas pedagang dan wisatawan.
Tujuan pertama Kang Ijal adalah mencari warung gudeg langganannya dulu, ketika ia masih sering berkunjung ke Yogyakarta. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya ia menemukan warung gudeg Yu Djum yang legendaris itu. Rasa gudegnya masih sama seperti dulu, manis gurih dan selalu bikin rindu.
Setelah perut kenyang, Kang Ijal melanjutkan perjalanannya. Ia menyusuri jalanan Yogyakarta yang penuh dengan kenangan. Ia mengunjungi kampus lamanya, Universitas Gadjah Mada, dan berjalan-jalan di sekitar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tempat dulu ia menimba ilmu.
Sore harinya, Kang Ijal bertemu dengan teman lamanya, Pak Budi, di sebuah kedai kopi di kawasan Prawirotaman. Mereka sudah lama tidak bertemu dan banyak hal yang ingin mereka bagi. Mereka bercerita tentang keluarga, pekerjaan, dan tentu saja, kenangan-kenangan masa kuliah dulu.
"Wah, tidak terasa sudah puluhan tahun ya, Jal. Kita dulu masih kurus-kurus begini," kata Pak Budi sambil tertawa mengenang masa lalu.
Kang Ijal ikut tertawa. Pertemuan dengan Pak Budi terasa sangat menyenangkan dan menghangatkan hatinya.
Bagian 5: Menikmati Seni dan Budaya Yogyakarta
Selama beberapa hari di Yogyakarta, Kang Ijal tidak hanya bernostalgia. Ia juga menyempatkan diri untuk menikmati seni dan budaya kota ini. Ia mengunjungi Keraton Yogyakarta, mengagumi arsitektur bangunan dan mempelajari sejarahnya. Ia juga menonton pertunjukan wayang kulit di sebuah sanggar seni tradisional.
Kang Ijal juga menyempatkan diri untuk berbelanja oleh-oleh khas Yogyakarta seperti batik, bakpia, dan kerajinan perak di kawasan Kotagede. Ia ingin membawa pulang sesuatu untuk Teh Nia dan anak-anaknya di Lampung.
Suatu malam, Kang Ijal berjalan-jalan di Alun-alun Kidul. Ia melihat banyak orang yang mencoba berjalan melewati dua pohon beringin kembar dengan mata tertutup. Konon, jika berhasil melewatinya, maka keinginannya akan terkabul. Kang Ijal ikut mencoba, meskipun tidak berhasil. Ia tertawa melihat dirinya yang berjalan zig-zag dan akhirnya menabrak salah satu pohon.
Bagian 6: Kembali ke Lampung dengan Hati Penuh Kebahagiaan
Setelah seminggu berada di Yogyakarta, Kang Ijal merasa sudah cukup. Urusannya sudah selesai, ia sudah bertemu dengan teman lamanya, dan sudah menikmati berbagai keindahan Yogyakarta. Kini, ia rindu dengan keluarganya di Lampung.
Dengan menggunakan kereta api yang sama, Sriwijaya, Kang Ijal kembali menuju Palembang. Dari Palembang, ia melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Bandar Lampung.
Setibanya di rumah, Teh Nia dan anak-anak menyambutnya dengan penuh kerinduan. Mereka senang melihat oleh-oleh yang dibawa Kang Ijal dari Yogyakarta.
"Bagaimana perjalananmu, Kang? Menyenangkan?" tanya Teh Nia sambil menyiapkan teh hangat untuk suaminya.
"Alhamdulillah, Teh. Semuanya berjalan lancar. Yogyakarta selalu punya cerita yang menarik untuk dikenang," jawab Kang Ijal sambil tersenyum.
Ia menceritakan semua pengalamannya selama di Palembang dan Yogyakarta, dari bertemu keponakan dan cucu barunya, hingga bernostalgia dengan teman lama dan menikmati seni budaya Yogyakarta.
Malam itu, sebelum tidur, Kang Ijal merenung. Perjalanan usai Lebaran kali ini memberikan banyak kesan yang mendalam baginya. Ia bersyukur bisa bersilaturahmi dengan keluarga di Palembang dan bertemu dengan teman lama di Yogyakarta. Ia juga semakin menghargai keindahan dan kekayaan budaya Indonesia.
Kang Ijal berharap, di tahun-tahun berikutnya, ia masih diberi kesempatan untuk melakukan perjalanan-perjalanan seperti ini, menjelajahi berbagai pelosok negeri dan menjalin tali silaturahmi dengan orang-orang terkasih. Kebahagiaan usai Lebaran kali ini akan menjadi kenangan indah yang akan selalu ia simpan di dalam hatinya.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar