Hiruk pikuk kota Bandar Lampung terkadang terasa menyesakkan. Di tengah tumpukan pekerjaan dan rutinitas yang monoton, jiwa ini merindukan panggilan alam—deburan ombak, semilir angin laut, dan langit biru tak berbatas. Akhirnya, sebuah rencana spontan lahir di akhir pekan: sebuah perjalanan darat selama 4 hari 3 malam untuk menyibak sebagian kecil dari surga tersembunyi yang ditawarkan tanah Lampung.
Tujuan kami jelas: merasakan langsung jernihnya perairan Pulau Pahawang dan menyaksikan keajaiban lumba-lumba menari di Teluk Kiluan.
Hari 1: Gerbang Menuju Surga Bahari
Pagi-pagi sekali, kami memulai perjalanan dari Bandar Lampung menuju Dermaga Ketapang di Kabupaten Pesawaran. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan perbukitan hijau menjadi teman setia kami. Sekitar satu jam perjalanan, suasana kota berganti dengan perkampungan nelayan yang ramai. Aroma ikan asin dan laut langsung menyergap indra penciuman, membangkitkan semangat petualangan.
Dari Dermaga Ketapang, perahu kayu sewaan kami sudah menunggu. Mesin perahu menderu, membelah perairan yang tenang. Semakin jauh dari daratan, gradasi warna air laut berubah dari hijau keruh menjadi biru toska yang jernih. Pulau-pulau kecil dengan pasir putih di kejauhan tampak seperti permata yang tersebar di atas permadani biru.
Tujuan pertama kami adalah Pulau Pahawang Besar, tempat kami akan menginap di sebuah homestay sederhana milik warga lokal. Keramahan Pak Usman, pemilik penginapan, membuat kami langsung merasa seperti di rumah. Setelah meletakkan barang, kami tak sabar untuk langsung menceburkan diri. Pantai di depan penginapan begitu tenang, airnya sejernih kristal, membuat kami bisa melihat ikan-ikan kecil berenang lincah di sela-sela kaki. Sore itu kami habiskan dengan bersantai di tepi pantai, ditemani kelapa muda segar sambil menyaksikan matahari terbenam yang melukis langit dengan warna jingga keemasan.
Hari 2: Menari Bersama Ikan di Taman Laut Pahawang
Inilah hari yang paling kami tunggu. Setelah sarapan nasi uduk khas lokal, perahu membawa kami untuk island hopping dan snorkeling. Spot pertama adalah Cukuh Bedil, sebuah taman bawah laut buatan yang kini menjadi rumah bagi ribuan ikan. Begitu kepala ini masuk ke dalam air, dunia seakan berubah. Terumbu karang buatan yang ditata rapi telah menjadi istana bagi ikan badut (Nemo) yang malu-malu bersembunyi di anemonnya, serta gerombolan damselfish biru yang berkilauan.
Perjalanan berlanjut ke Pulau Pahawang Kecil. Keunikan pulau ini adalah adanya jembatan pasir alami yang menghubungkannya dengan Pulau Pahawang Besar saat air laut surut. Berjalan di atas gundukan pasir putih dengan laut biru jernih di kedua sisi adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
Kami menutup petualangan bawah air kami di Taman Nemo, spot snorkeling lain yang tak kalah memukau. Rasanya waktu berjalan begitu cepat saat kita terhipnotis oleh keindahan bawah laut. Lelah namun puas, kami kembali ke penginapan dengan hati yang penuh decak kagum.
Hari 3: Perjalanan Menantang Menuju Teluk Kiluan
Pagi harinya, kami berpamitan dengan keindahan Pahawang. Perjalanan selanjutnya membawa kami ke selatan, menuju Teluk Kiluan di Kabupaten Tanggamus. Jalur ini cukup menantang. Jalanan yang berkelok-kelok, naik-turun perbukitan, dengan pemandangan Samudra Hindia di sisi kiri kami. Perjalanan ini mungkin melelahkan, tapi setiap kelokannya menyajikan panorama yang luar biasa indah.
Setibanya di Kiluan, suasananya terasa berbeda dari Pahawang. Di sini, pantainya lebih liar dan berkarakter, dengan formasi bebatuan karang yang dramatis. Kami menginap di sebuah pondok kayu sederhana yang menghadap langsung ke laut. Suara ombak yang menghantam karang menjadi musik pengantar tidur kami malam itu.
Hari 4: Simfoni Fajar dan Lumba-Lumba
Pukul 05.30 pagi, langit masih gelap saat kami menaiki jukung, perahu cadik khas nelayan Kiluan. Udara dingin menusuk tulang, namun rasa antusias mengalahkan segalanya. Sang juru mudi dengan lihai mengarahkan jukung membelah ombak yang cukup besar menuju lautan lepas. Inilah habitat asli ratusan, bahkan ribuan, lumba-lumba hidung botol dan lumba-lumba paruh panjang.
Saat fajar mulai menyingsing dan semburat oranye muncul di ufuk timur, keajaiban itu terjadi. Satu per satu sirip hitam mulai muncul di permukaan air. Tak lama kemudian, puluhan lumba-lumba melompat dan menari di sekitar jukung kami seolah menyambut pagi. Ada yang berenang cepat di haluan perahu, ada yang melompat berputar di udara. Pemandangan itu adalah sebuah simfoni alam yang murni, sebuah kegembiraan tanpa syarat. Lupa sudah dengan kamera, kami hanya bisa terpana, merekam momen itu lekat-lekat dalam ingatan.
Setelah hampir satu jam dimanjakan oleh tarian mereka, kami kembali ke daratan dengan perasaan haru dan takjub. Perjalanan ini ditutup dengan sarapan hangat sambil berbagi cerita tentang keajaiban yang baru saja kami saksikan.
Dalam perjalanan pulang ke Bandar Lampung, kami menyadari satu hal. Lampung bukan hanya tentang kopi atau gajah. Ia adalah sebuah mozaik keindahan alam yang lengkap. Perjalanan ini bukan sekadar liburan, melainkan sebuah pengingat betapa indahnya negeri ini dan betapa banyak pesona lokal yang menanti untuk dijelajahi, tepat di halaman belakang rumah kita sendiri.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar