Ilustrasi : Gema Bisikan Ibu |
Mentari pagi merayap masuk melalui celah jendela kamar Risa, namun hangatnya tak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Di usia 25 tahun, Risa hidup sendiri di apartemen minimalis di Jakarta, jauh dari rumah masa kecilnya di Bandar Lampung. Jauh dari kenangan, dan jauh dari ibunya.
Penyesalan itu seperti duri yang selalu menusuk relung hatinya, terutama saat pagi menjelang. Pagi adalah waktu ibunya selalu menelepon, dulu. Suara lembut ibunya, seperti melodi yang menenangkan, selalu mengawali hari Risa. Namun, sudah lima tahun suara itu hilang. Lima tahun sejak ibunya pergi, dan lima tahun sejak Risa menanggung beban penyesalan yang tak pernah pudar.
Risa ingat jelas hari itu. Pertengkaran hebat di malam ulang tahunnya yang ke-20. Kata-kata pedas meluncur dari bibirnya, seperti anak panah yang menghujam jantung ibunya. "Ibu selalu mengatur hidupku! Aku bukan anak kecil lagi!" bentaknya, air mata kemarahan membasahi pipinya. Ibunya, dengan mata berkaca-kaca, hanya diam. Malam itu, ibunya tak memeluknya seperti biasa. Malam itu, menjadi malam terakhir mereka berbicara dengan hati.
Keesokan harinya, ibunya jatuh sakit. Dokter mendiagnosis serangan jantung. Risa merasa dunia runtuh saat itu. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Pertengkaran mereka pasti menjadi pemicunya. Penyesalan itu semakin dalam saat ibunya menghembuskan napas terakhirnya, tanpa sempat Risa meminta maaf, tanpa sempat ia mengatakan betapa ia mencintai ibunya.
Sejak saat itu, hidup Risa berubah. Ia meninggalkan Bandar Lampung, mencari pelarian di hiruk pikuk Jakarta. Ia mencoba mengubur kenangan, namun bayangan ibunya selalu hadir di setiap sudut hidupnya. Di apartemennya yang sunyi, ia sering mendengar gema bisikan ibunya, "Risa, jangan keras kepala, Nak." Bisikan itu selalu datang saat ia menghadapi masalah, saat ia merasa sendiri dan rapuh.
Karirnya di Jakarta cukupGemilang. Ia bekerja di perusahaan start-up yang sedang naik daun. Namun, kesuksesan karir tak mampu mengisi kekosongan di hatinya. Ia merasa hampa, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Teman-temannya sering mengajaknya bersenang-senang, namun tawa mereka tak pernah sampai ke hatinya. Ia selalu merasa sendiri di tengah keramaian.
Suatu malam, Risa tak sengaja menemukan kotak tua di gudang apartemennya. Kotak itu berisi barang-barang peninggalan ibunya yang ia bawa dari Bandar Lampung. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan foto-foto masa kecilnya bersama ibunya, surat-surat cinta ibunya untuk ayahnya, dan sebuah buku diary berwarna biru muda.
Diary itu adalah diary ibunya. Dengan hati berdebar, Risa mulai membaca. Setiap halaman diary itu dipenuhi dengan cerita tentang cinta ibunya untuk Risa, tentang harapannya untuk Risa, dan tentang kekhawatirannya pada Risa yang keras kepala. Risa menemukan betapa besar cinta ibunya, cinta yang tak pernah ia sadari sepenuhnya saat ibunya masih ada.
Di halaman terakhir diary itu, Risa menemukan sebuah surat yang belum selesai ditulis. Surat itu ditujukan untuk Risa, ditulis tepat sebelum ibunya sakit.
"Anakku Risa sayang,
Ibu tahu kamu sedang marah pada Ibu. Ibu tahu Ibu sering membuatmu kesal. Tapi, percayalah, semua yang Ibu lakukan adalah karena Ibu sangat menyayangimu. Ibu ingin kamu bahagia, Nak. Ibu ingin kamu menjadi wanita yang kuat dan mandiri, tapi Ibu juga ingin kamu selalu ingat untuk bersikap lembut dan penuh kasih sayang. Jangan keras kepala, Risa. Dengarkan kata hatimu, dan jangan pernah menyesali keputusanmu. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Nak. Selamanya.
Dari ibumu yang selalu mencintaimu."
Air mata Risa tak terbendung lagi. Ia menangis tersedu-sedu membaca surat ibunya. Penyesalan itu semakin terasa perih. Ia menyesal karena tidak pernah benar-benar memahami cinta ibunya, menyesal karena telah menyakiti hati ibunya, dan menyesal karena tidak sempat meminta maaf.
Malam itu, Risa memutuskan untuk kembali ke Bandar Lampung. Ia ingin mengunjungi makam ibunya, ia ingin meminta maaf, meskipun ia tahu ibunya tak akan pernah mendengarnya. Ia ingin mencari kedamaian di rumah masa kecilnya, rumah yang penuh dengan kenangan bersama ibunya.
Saat Risa tiba di Bandar Lampung, kota itu terasa asing sekaligus familiar. Rumah masa kecilnya masih berdiri kokoh, namun terasa sunyi tanpa kehadiran ibunya. Ia pergi ke makam ibunya, membawa bunga mawar putih kesukaan ibunya. Di depan pusara ibunya, Risa berlutut dan menangis.
"Ibu, maafkan Risa, Bu," bisiknya lirih. "Risa menyesal, Bu. Risa sangat menyesal."
Angin berhembus lembut, seperti sentuhan tangan ibunya di pipinya. Risa merasa ada kedamaian menyelimuti hatinya. Ia tahu, penyesalan itu tak akan pernah hilang sepenuhnya, namun ia berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar dari penyesalannya. Ia akan berusaha menjadi wanita yang lebih baik, wanita yang sesuai dengan harapan ibunya.
Sejak saat itu, Risa sering kembali ke Bandar Lampung. Ia merawat rumah masa kecilnya, ia mengunjungi makam ibunya setiap minggu. Ia mulai belajar memasak resep-resep masakan ibunya, mencoba menghidupkan kembali kenangan indah bersama ibunya. Gema bisikan ibunya tak lagi terasa menyakitkan, namun menjadi pengingat untuk selalu bersikap lembut, penuh kasih sayang, dan tidak keras kepala. Penyesalan itu perlahan berubah menjadi kekuatan, kekuatan untuk menjalani hidup dengan lebih baik, untuk menghargai setiap momen, dan untuk mencintai orang-orang di sekitarnya dengan sepenuh hati.
Waktu terus berjalan, namun kenangan tentang ibunya akan selalu hidup di hati Risa. Penyesalan itu akan selalu ada, namun ia belajar untuk menerimanya, untuk menjadikannya pelajaran berharga dalam hidupnya. Karena, gema bisikan ibu akan selalu menuntunnya, selamanya.
Disclaimer :
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar