Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Kamis, 20 Februari 2025

cerita fiksi : Pengakuan di Bawah Bintang Kejora


Pengakuan di Bawah Bintang Kejora

💫Malam itu langit Bandar Lampung bertabur bintang, namun bagi Anya, bintang-bintang itu terasa redup dibandingkan gundah yang menggelayuti hatinya. Di usia 17 tahun, Anya menyimpan sebuah rahasia besar, sebuah beban yang semakin hari semakin menyesakkan dadanya. Rahasia itu bukan tentang cinta monyet atau nilai ujian yang buruk, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih kelam, dan melibatkan keluarganya.

Anya duduk di beranda rumah, menatap hamparan kebun kopi milik keluarganya yang menghijau di bawah rembulan. Angin malam berbisik lirih, seolah ikut merasakan kegelisahannya. Di tangannya tergenggam erat sebuah buku diary usang, tempat ia menumpahkan segala rasa sejak kecil. Malam ini, diary itu akan menjadi saksi bisu pengakuannya.

Keluarga Anya adalah keluarga petani kopi yang dihormati di desa mereka. Ayahnya, Pak Rahman, adalah sosok yang keras namun penyayang, tulang punggung keluarga yang selalu bekerja tanpa lelah. Ibunya, Bu Siti, adalah wanita lembut dan sabar, penyejuk hati di tengah kesibukan keluarga. Anya memiliki seorang kakak laki-laki, Rio, yang kuliah di kota dan menjadi kebanggaan keluarga. Di mata orang lain, keluarga Anya tampak sempurna, harmonis, dan bahagia. Namun, di balik senyum dan tawa, Anya menyimpan duri yang menusuk relung hatinya.

Duri itu bernama 'kebohongan'. Kebohongan yang tidak ia lakukan, namun ia saksikan dan simpan rapat-rapat selama bertahun-tahun. Kebohongan yang ia tahu akan menghancurkan keharmonisan keluarganya jika terungkap. Kebohongan tentang asal-usulnya.

Sejak kecil, Anya merasa ada yang berbeda dalam dirinya. Ia tidak memiliki kemiripan fisik dengan ayah dan ibunya. Rio, kakaknya, memiliki mata coklat dan rambut ikal seperti Pak Rahman, sementara Bu Siti memiliki kulit sawo matang dan senyum yang menenangkan. Anya? Ia memiliki mata biru kehijauan dan rambut lurus berwarna pirang kecoklatan, kulitnya pun lebih terang dari anggota keluarga lainnya. Ia sering mendengar bisik-bisik tetangga tentang 'anak pungut' atau 'anak titipan'. Awalnya ia tidak terlalu peduli, menganggap itu hanya omongan kosong. Namun, semakin dewasa, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menghantuinya.

Puncaknya terjadi setahun lalu, saat ia tidak sengaja menemukan sebuah kotak kayu tua di loteng rumah. Di dalamnya terdapat foto-foto lama, surat-surat, dan sebuah akta kelahiran. Akta kelahiran itu bukan atas namanya, melainkan nama seorang bayi perempuan bernama 'Anastasia Elena Petrova', lahir di sebuah kota kecil di Rusia, 17 tahun yang lalu. Tanggal lahirnya sama persis dengan tanggal lahir Anya. Jantung Anya berdegup kencang saat membaca nama itu, nama yang asing namun terasa familiar di hatinya.

Sejak saat itu, Anya mulai mencari tahu. Ia diam-diam mencari informasi di internet tentang Rusia, tentang nama Anastasia Elena Petrova. Ia menemukan bahwa nama itu adalah nama khas Rusia. Ia juga menemukan foto-foto keluarga Rusia dengan ciri fisik yang mirip dengannya. Semakin ia mencari, semakin kuat keyakinannya bahwa ia bukan anak kandung Pak Rahman dan Bu Siti.

Anya merasa terkhianati. Mengapa orang tuanya tidak pernah menceritakan yang sebenarnya? Mengapa ia harus hidup dalam kebohongan selama ini? Kemarahan, kekecewaan, dan kebingungan bercampur aduk dalam hatinya. Ia ingin marah, berteriak, dan menuntut penjelasan. Namun, ia juga takut. Takut kehilangan keluarga yang selama ini ia cintai. Takut melihat kesedihan di mata ayah dan ibunya.

Selama setahun terakhir, Anya hidup dalam dilema. Ia menyembunyikan pengetahuannya, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Namun, beban rahasia itu semakin berat. Ia merasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia tidak bisa lagi menanggungnya sendiri. Ia harus berbicara, harus mengungkapkan pengakuannya.

Malam ini, Anya memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Bu Siti adalah orang yang paling dekat dengannya, tempat ia selalu mencari perlindungan dan kasih sayang. Ia berharap ibunya akan mengerti dan mau menjelaskan semuanya.

Anya bangkit dari duduknya, membawa diary dan kotak kayu tua itu. Ia melangkah masuk ke dalam rumah, mencari ibunya. Ia menemukan Bu Siti sedang menjahit di ruang keluarga, ditemani suara televisi yang sayup-sayup.

"Ibu," panggil Anya dengan suara bergetar.

Bu Siti menoleh, tersenyum lembut. "Eh, anak Ibu sudah malam kok belum tidur? Ada apa, Sayang?"

Anya duduk di samping ibunya, menggenggam tangan Bu Siti erat-erat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Ibu, Anya mau bicara sesuatu," ucap Anya pelan.

Bu Siti menatap Anya dengan penuh perhatian, merasakan keseriusan dalam nada suara putrinya. "Bicara apa, Nak? Ibu mendengarkan."

Anya membuka diarynya, menunjukkan foto akta kelahiran Anastasia Elena Petrova. "Ibu, Anya menemukan ini," kata Anya dengan suara tercekat.

Bu Siti terdiam, matanya membulat melihat foto akta kelahiran itu. Wajahnya pucat pasi, tangannya yang tadi menggenggam tangan Anya kini terasa dingin. Ia tahu, rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat akhirnya terungkap.

"Anya... dari mana kamu mendapatkan ini?" tanya Bu Siti dengan suara gemetar.

"Anya menemukannya di loteng, Ibu. Anya... Anya ingin tahu, siapa Anastasia Elena Petrova? Dan... dan mengapa akta kelahirannya ada di rumah kita?" tanya Anya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Bu Siti menunduk, air mata juga mulai menetes membasahi pipinya. Ia tidak menjawab, hanya terisak pelan. Anya semakin bingung dan takut. Ia mengguncang pelan lengan ibunya.

"Ibu, jawab Anya. Siapa Anastasia? Apakah... apakah Anya bukan anak Ibu dan Ayah?" tanya Anya dengan suara bergetar hebat.

Bu Siti mengangkat wajahnya, menatap Anya dengan mata penuh kesedihan dan cinta. Ia mengusap air mata di pipi Anya, lalu menarik putrinya ke dalam pelukannya.

"Anya, Sayang... dengarkan Ibu baik-baik," ucap Bu Siti dengan suara serak. "Anastasia Elena Petrova... itu adalah namamu. Nama yang Ibu dan Ayah berikan saat pertama kali menemukanmu."

Anya terkejut, ia melepaskan pelukan ibunya dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Menemukan Anya? Maksud Ibu?"

Bu Siti menarik napas dalam-dalam, bersiap menceritakan kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. "Dulu, saat kamu masih bayi, Ibu dan Ayah pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Saat itu, ekonomi keluarga kita sedang sulit. Di tengah perjalanan, saat kami beristirahat di sebuah terminal bus, Ibu mendengar suara tangisan bayi. Kami mencari sumber suara itu dan menemukanmu, tergeletak di bangku terminal, sendirian, tanpa orang tua."

Anya mendengarkan dengan saksama, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak pernah menyangka kisah hidupnya akan seperti ini.

"Ibu dan Ayah panik, Nak. Kami mencari-cari orang tuamu, bertanya pada orang-orang di sekitar terminal, tapi tidak ada yang tahu. Kami menunggu berjam-jam, berharap orang tuamu akan kembali, tapi mereka tidak pernah datang. Hari sudah semakin malam, kami tidak tega meninggalkanmu sendirian. Akhirnya, dengan berat hati, kami memutuskan untuk membawamu pulang."

"Saat itu, Ibu dan Ayah belum memiliki anak. Kami sangat menginginkan seorang anak, tapi Tuhan belum memberikan kepercayaan kepada kami. Kehadiranmu adalah anugerah bagi kami. Kami merasa Tuhan mengirimkanmu untuk kami. Kami memberiimu nama Anastasia Elena Petrova, dan merawatmu seperti anak kandung sendiri."

"Setelah beberapa bulan, kami mengurus surat adopsi secara diam-diam. Kami mengganti namamu menjadi Anya Rahman, agar tidak ada yang curiga. Kami ingin kamu tumbuh besar sebagai bagian dari keluarga kami, tanpa beban masa lalu."

"Kami tahu, kami seharusnya menceritakan ini padamu sejak dulu. Tapi kami takut, Nak. Kami takut kamu akan marah, kecewa, dan meninggalkan kami. Kami sangat mencintaimu, Anya. Kamu adalah putri kami, satu-satunya putri kami, meskipun kamu bukan lahir dari rahim Ibu."

Air mata Anya mengalir deras mendengar pengakuan ibunya. Ia tidak marah, tidak kecewa, justru ia merasa haru dan terharu. Ia tidak menyangka orang tuanya begitu mencintainya, sampai rela menyembunyikan kebenaran demi kebahagiaannya.

"Ibu..." panggil Anya dengan suara lirih, ia kembali memeluk ibunya erat-erat. "Anya mengerti, Ibu. Anya mengerti mengapa Ibu dan Ayah melakukan ini. Anya tidak marah, Ibu. Anya justru berterima kasih, karena Ibu dan Ayah sudah menyayangi Anya seperti anak sendiri. Anya juga sangat mencintai Ibu dan Ayah."

Bu Siti membalas pelukan Anya, air matanya juga semakin deras. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mengerti. Ibu dan Ayah sangat bahagia memilikimu sebagai putri kami."

Malam itu, di bawah bintang kejora yang kembali bersinar terang, Anya dan Bu Siti saling berpelukan, menumpahkan segala emosi yang selama ini terpendam. Pengakuan Anya telah membuka tabir rahasia keluarga, namun bukan menghancurkan, melainkan justru mempererat ikatan cinta di antara mereka. Anya menyadari, darah dan garis keturunan bukanlah segalanya. Cinta dan kasih sayanglah yang membentuk keluarga sejati. Ia adalah Anya Rahman, putri Pak Rahman dan Bu Siti, dan itu sudah lebih dari cukup.

Keesokan harinya, Anya menceritakan semuanya kepada Pak Rahman dan Rio. Awalnya, Pak Rahman tampak terkejut dan sedikit marah karena Bu Siti menyembunyikan rahasia ini darinya. Namun, setelah mendengar penjelasan dari Bu Siti dan melihat ketulusan hati Anya, Pak Rahman akhirnya luluh. Ia memeluk Anya erat-erat, mengatakan bahwa Anya tetaplah putrinya, selamanya. Rio pun ikut memeluk adiknya, mengatakan bahwa ia akan selalu menyayangi Anya, apapun yang terjadi.

Sejak saat itu, keluarga Anya kembali harmonis seperti sedia kala, bahkan lebih erat dari sebelumnya. Rahasia yang selama ini menjadi beban, kini telah menjadi jembatan yang menghubungkan hati mereka. Anya tidak lagi merasa berbeda atau terasingkan. Ia merasa diterima, dicintai, dan menjadi bagian utuh dari keluarga Rahman. Ia berjanji pada dirinya sendiri, akan membalas cinta dan kasih sayang orang tuanya dengan menjadi anak yang berbakti dan membanggakan.

Anya belajar bahwa kebenaran, meskipun terkadang pahit, akan selalu membawa kelegaan dan kedamaian. Pengakuannya di bawah bintang kejora telah membuka lembaran baru dalam hidupnya, lembaran yang penuh dengan cinta, kejujuran, dan penerimaan diri. Dan di atas kebun kopi yang menghijau, keluarga Rahman kembali menatap masa depan dengan senyum dan harapan, bersama bintang kejora yang selalu setia menemani malam-malam mereka.



Disclaimer :

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Bandar lampung, Lampung, Indonesia