"Satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan yang hebat adalah dengan mencintai apa yang kamu lakukan. Jika kamu belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah." - Steve Jobs
Setelah melewati perjalanan yang cukup menantang, akhirnya kami sampai di Bukit Cendana. Udara sejuk dan semilir angin langsung menyambut kedatangan kami. Di sini, pemandangan kota Bandar Lampung dan laut terhampar luas di depan mata, menyuguhkan panorama yang luar biasa indah.
Suara jangkrik bersahutan, diiringi sayup-sayup tawa teman-teman, menciptakan suasana yang begitu damai dan hangat. Matahari mulai condong ke barat, perlahan mengubah langit menjadi palet warna oranye, merah muda, dan ungu. Inilah momen yang paling kami tunggu: sunset.
Kami duduk bersama di atas rumput, membiarkan keheningan mengambil alih. Setiap dari kami sibuk dengan pikiran masing-masing, merenungi keindahan alam di depan mata. Momen ini lebih dari sekadar pemandangan; ini adalah jeda dari hiruk pikuk kehidupan, kesempatan untuk terhubung kembali dengan diri sendiri dan alam.
Ketika langit mulai gelap, lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan lautan bintang di bawah sana. Sungguh pemandangan yang takkan pernah bisa kami lupakan. Momen itu terasa begitu singkat, namun meninggalkan jejak kenangan yang mendalam.
Cerita di Balik Lensa
Tidak hanya menikmati pemandangan, kami juga berfoto ria. Dengan tripod dan kamera yang kami bawa, kami mengabadikan setiap sudut keindahan Bukit Cendana. Ada yang berpose sendirian, ada yang berpasangan, ada pula yang berfoto bersama. Setiap jepretan kamera seolah menangkap kebahagiaan dan kebersamaan kami.
Kami juga mencoba tantangan baru: light painting. Dengan memanfaatkan cahaya dari senter dan shutter speed kamera yang lambat, kami menciptakan gambar-gambar unik yang penuh kreativitas. Momen ini bukan hanya tentang hasil foto, melainkan tentang kerja sama dan tawa yang tercipta selama prosesnya.
Makna Perjalanan
Sebelum pulang, kami duduk melingkar dan berbagi cerita. Kami menyadari bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar liburan. Ini adalah petualangan yang membawa kami lebih dekat satu sama lain. Kami belajar bahwa keindahan sejati tidak hanya terletak pada pemandangan yang indah, tetapi juga pada kebersamaan dan kenangan yang kami ciptakan bersama.
Bukit Cendana akan selalu menjadi salah satu kenangan paling berharga dari perjalanan kami menjelajahi pesona tersembunyi Lampung. Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat yang kami kunjungi, tetapi juga tentang orang-orang yang kami temui dan momen yang kami bagikan.
Apakah kamu juga punya pengalaman berharga saat berwisata bersama teman-teman?
Menjelaskan Peserta didik mampu menganalisis perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan politik pada masa Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia serta memberikan contoh warisan budaya dari masa tersebut. (Mengacu pada CP IPS Fase D)
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui pemahaman dan penyampaian materi melalui blog ini sebagai bahan literasi pendukung, peserta didik dapat menjelaskan dan menganalisis Kisi Kisi Sumatif Tengah Semester 2025 dengan baik serta mempresentasikan di depan kelas menggunakan Canvas, PPT atau video/mind map atau karya lain sesuai dengan kesiapan siswa..
Murid mampu menelaah peran masyarakat dan negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di era digital, serta potensi Indonesia menjadi negara maju; mengelaborasi proses interaksi sosial, lembaga sosial, dinamika sosial dan perubahan sistem sosial budaya dalam masyarakat yang majemuk untuk mewujudkan integrasi bangsa dengan prinsip kebhinekaan; menjelaskan konsep dasar ilmu sejarah yaitu manusia, ruang, waktu, kronologi, perubahan; menganalisis keterhubungan antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang ketika mempelajari sejarah lokal dan toponimi wilayah serta berbagai peristiwa atau kejadian penting dalam lingkup lokal, nasional dan global terkait asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia dan jalur rempah nusantara
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui pemahaman dan penyampaian materi melalui blog ini sebagai bahan literasi pendukung, peserta didik dapat menjelaskan dan menganalisis Prinsip Respect, Educate, dan Protect dalam menggunakan media internet(Intraksi Masy. Abad 21). dengan baik serta mempresentasikan di depan kelas menggunakan Canvas, PPT atau video/mind map atau karya lain sesuai dengan kesiapan siswa.
Setelah melewati empat hari yang luar biasa di Lampung, petualangan saya masih berlanjut. Kali ini, saya memutuskan untuk menjelajahi keindahan yang tersembunyi, sebuah tempat yang namanya mungkin asing bagi banyak orang, namun memiliki pesona yang tak terlupakan: Bukit Cendana.
Perjalanan dimulai dari kota Bandar Lampung, di mana saya menyewa motor untuk memulai petualangan. Jalanan menanjak mulai menyambut, dan setiap tikungan menyuguhkan pemandangan yang semakin menakjubkan. Pepohonan rindang di sisi jalan seakan menjadi tirai hijau yang membingkai langit biru. Udara yang sejuk mulai menyapa, menggantikan kelembapan khas kota.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan, akhirnya saya sampai di kaki bukit. Motor saya parkirkan, dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Trekking menuju puncak Bukit Cendana memang menantang, namun setiap langkahnya sepadan. Tanah merah yang lembap dan akar-akar pohon yang mencuat menjadi pijakan yang alami. Suara kicauan burung dan serangga hutan menemani setiap langkah.
Semakin tinggi mendaki, semakin luas pemandangan yang terhampar. Hutan hijau yang lebat, perkebunan kopi yang tertata rapi, dan hamparan sawah yang membentang luas. Semuanya terlihat seperti lukisan alam yang indah.
Setelah sekitar satu jam mendaki, akhirnya saya sampai di puncak. Segala penat dan lelah seakan lenyap seketika. Di hadapan saya, terhampar pemandangan 360 derajat yang luar biasa. Kota Bandar Lampung terlihat seperti miniatur di kejauhan, dikelilingi oleh pegunungan dan laut yang membiru.
Saya duduk di sebuah batu besar, membiarkan angin sejuk membelai wajah. Matahari mulai terbenam, menciptakan gradasi warna jingga, merah, dan ungu di cakrawala. Pemandangan ini terlalu indah untuk diabadikan hanya dengan kamera. Saya hanya ingin duduk, menikmati momen ini sepenuhnya, dan membiarkan diri tenggelam dalam keindahan alam yang menakjubkan ini.
Bukit Cendana bukan sekadar destinasi wisata, melainkan sebuah pengalaman spiritual. Tempat ini mengajarkan saya untuk menghargai proses, untuk menikmati setiap langkah perjalanan, dan untuk menyadari bahwa keindahan sejati sering kali tersembunyi dan perlu perjuangan untuk mencapainya.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Jelajah Pesona Tersembunyi Lampung Sesi 4: Berburu Fajar dan Menari Bersama Lumba-Lumba Kiluan
Setelah debur ombak dan keindahan bawah laut Pahawang di sesi sebelumnya memanjakan mata, petualangan kami belum usai. Roda kendaraan kembali berputar, membawa kami menuju sebuah nama yang selalu disebut dengan nada berbisik penuh kekaguman: Teluk Kiluan. Sebuah teluk terpencil di Kabupaten Tanggamus yang menjanjikan sebuah tarian alam yang langka—pertemuan magis dengan ratusan lumba-lumba di habitat aslinya.
Babak 1: Perjalanan Menuju Surga yang Tersembunyi
Perjalanan menuju Kiluan adalah petualangan itu sendiri. Meninggalkan jalanan mulus, kami disambut oleh jalur yang menantang, berliku, dan terkadang berbatu. Namun, jangan biarkan ini menyurutkan semangat Anda. Justru di sinilah letak pesonanya. Setiap guncangan di dalam mobil terbayar lunas oleh pemandangan spektakuler di luar jendela: perbukitan hijau yang subur, hamparan sawah yang menenangkan, dan senyum ramah penduduk desa yang kami lewati. Perjalanan ini seolah menjadi gerbang penyaringan, memastikan hanya mereka yang berjiwa petualang sejati yang akan sampai ke surga di ujung jalan.
Setibanya di Desa Kiluan Negeri, kami disambut oleh suasana yang jauh dari hiruk pikuk kota. Udara asin langsung menyapa, berpadu dengan aroma pepohonan. Kami menginap di salah satu pondok sederhana milik warga yang menghadap langsung ke teluk. Tidak ada hotel berbintang di sini, yang ada hanyalah kehangatan dan ketulusan. Sore itu kami habiskan dengan bersantai di tepi pantai, membiarkan deburan ombak yang tenang menghapus lelah perjalanan, sambil menatap cakrawala dengan penuh antisipasi akan petualangan esok hari.
Babak 2: Panggilan Laut di Kegelapan Dini Hari
Alarm berbunyi pukul 04:30. Udara dingin yang menusuk tulang tak mampu mengalahkan semangat kami. Dalam kegelapan pekat, ditemani secangkir kopi Lampung yang hangat, kami berjalan menuju bibir pantai. Di sana, puluhan perahu nelayan tradisional yang disebut Jukung telah menunggu. Jukung adalah perahu cadik yang ramping, dirancang untuk membelah ombak dengan lincah.
Satu per satu, kami menaiki jukung. Deru mesin memecah keheningan subuh saat kami perlahan meninggalkan teluk yang tenang menuju lautan lepas. Angin laut menerpa wajah, membawa butiran air asin yang menyegarkan. Di atas kami, langit masih bertabur ribuan bintang, sebuah pemandangan yang mustahil didapatkan di kota.
Saat jukung kami melaju semakin jauh, keajaiban pertama dimulai. Langit di ufuk timur yang tadinya hitam pekat perlahan berubah warna. Semburat jingga, merah muda, dan ungu mulai melukis cakrawala, menciptakan siluet megah dari Pulau Kelapa dan perbukitan di seberang teluk. Inilah momen "berburu fajar" yang sesungguhnya. Matahari terbit dari balik lautan, menyebarkan cahaya keemasannya yang hangat ke seluruh penjuru, mengubah permukaan laut menjadi permadani berkilauan. Pemandangan ini saja sudah cukup untuk membayar semua usaha kami.
Babak 3: Orkestra Alam: Tarian Sang Lumba-Lumba
Setelah fajar merekah sempurna, misi utama kami dimulai. Para nakhoda jukung, dengan pengalaman bertahun-tahun, saling berkomunikasi, mata mereka awas memindai lautan, mencari tanda-tanda kehidupan. Suasana hening dan penuh penantian.
"Di sana!" teriak seorang nakhoda sambil menunjuk ke kejauhan.
Semua mata tertuju ke satu arah. Awalnya hanya sebuah riak kecil. Lalu, sebuah sirip hitam melintas cepat di permukaan. Dan kemudian, keajaiban itu terjadi. Satu, dua, lalu puluhan lumba-lumba mulai melompat keluar dari air. Ada Lumba-Lumba Hidung Botol yang besar dan Lumba-Lumba Paruh Panjang yang terkenal dengan putaran akrobatiknya di udara.
Jukung kami mendekat dengan perlahan, menjaga jarak agar tidak mengganggu mereka. Apa yang kami saksikan selanjutnya adalah sebuah orkestra alam yang paling menakjubkan. Kawanan lumba-lumba itu seolah menyambut kami. Mereka berenang di sisi jukung, melompat anggun, berputar di udara, seakan-akan mereka sedang menari hanya untuk kami. Suara decitan khas mereka terdengar jelas, berpadu dengan deru mesin jukung dan sorak kegirangan dari para pengunjung.
Melihat makhluk cerdas ini bermain dengan bebas di habitat aslinya adalah pengalaman yang merendahkan hati sekaligus membangkitkan semangat. Ini bukan pertunjukan di akuarium; ini adalah interaksi murni dengan alam liar. Selama hampir satu jam, kami dikelilingi oleh ratusan lumba-lumba yang menari di lautan lepas. Momen itu terasa sureal, sebuah kenangan yang akan terukir abadi dalam jiwa.
Babak 4: Laguna Gayau, Kolam Pribadi Sang Bidadari
Petualangan di Kiluan belum berakhir. Setelah puas "menari" bersama lumba-lumba, jukung membawa kami kembali ke daratan, namun bukan ke penginapan. Tujuan kami berikutnya adalah Laguna Gayau. Setelah treking singkat melewati bebatuan dan pepohonan, kami tiba di sebuah kolam alami yang tersembunyi di balik bebatuan karang.
Airnya sejernih kristal dengan warna biru kehijauan yang memikat, begitu tenang dan terlindung dari ombak besar. Kami tak ragu untuk langsung menceburkan diri. Berenang di Laguna Gayau terasa seperti memiliki kolam renang pribadi di tengah surga. Kesegaran airnya seketika memulihkan energi kami setelah berpanas-panasan di lautan.
Penutup: Gema Kiluan di Hati
Senja di Kiluan terasa berbeda. Duduk di teras pondok, ditemani hidangan ikan bakar segar hasil tangkapan nelayan setempat, kami merenungkan kembali perjalanan hari ini. Kiluan lebih dari sekadar destinasi wisata; ia adalah sebuah pengalaman spiritual. Ia mengajarkan kami tentang kesabaran dalam perjalanan, tentang keindahan bangun lebih pagi, dan tentang keajaiban berinteraksi dengan alam secara hormat.
Teluk Kiluan telah mengukir kenangan yang tak terlupakan. Tarian lumba-lumba di kala fajar akan selalu menjadi simfoni yang terngiang di benak kami.
Perjalanan Jelajah Pesona Tersembunyi Lampung masih akan berlanjut. Kemana roda petualangan akan membawa kita selanjutnya? Nantikan di Sesi 5!
Tips Singkat untuk Petualang Kiluan:
Waktu Terbaik: Musim kemarau (sekitar April - September) saat ombak cenderung lebih tenang.
Akomodasi: Jangan berharap kemewahan. Penginapan berupa homestay sederhana milik warga. Pesanlah jauh-jauh hari, terutama saat akhir pekan.
Perlengkapan: Bawa uang tunai yang cukup karena ATM sangat jarang. Bawa juga obat-obatan pribadi, losion anti nyamuk, dan kamera tahan air.
Jaga Kondisi: Perjalanan cukup melelahkan. Pastikan kondisi fisik Anda prima.
Hormati Alam: Selalu jaga kebersihan dan jangan pernah membuang sampah sembarangan, terutama di laut.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Pagi di Pulau Pahawang menyambut kami dengan suasana yang begitu damai. Sisa-sisa euforia petualangan bawah laut kemarin masih terasa, terlukis dalam senyum kami saat menikmati sarapan sederhana yang disiapkan oleh pemilik penginapan. Nasi goreng hangat, ditemani kerupuk renyah dan secangkir kopi robusta Lampung yang pekat, menjadi pengisi tenaga yang sempurna. Aroma kopi yang khas berpadu dengan bau asin udara laut, menciptakan komposisi wangi yang akan selalu kami rindukan.
Dengan berat hati, kami berkemas. Rasanya baru sekejap kami berkenalan dengan ikan nemo yang malu-malu dan terumbu karang yang megah. Kami menaiki perahu yang akan membawa kami kembali ke Dermaga Ketapang. Sambil perahu perlahan menjauh, kami menatap gugusan pulau-pulau di sekitar Pahawang. Pemandangannya begitu syahdu; siluet pulau berlatar langit biru cerah, seolah melambaikan tangan dan berjanji akan selalu menjaga keindahannya hingga kami kembali lagi.
Jalur Darat Penuh Petualangan
Setibanya di Dermaga Ketapang, petualangan kami bertransformasi. Laut biru kami tinggalkan, berganti dengan perjalanan darat menuju destinasi berikutnya yang tak kalah legendaris: Teluk Kiluan. Dari informasi yang kami dapat, perjalanan ini memakan waktu sekitar 3-4 jam, namun bukan durasinya yang menjadi sorotan, melainkan medannya.
Awal perjalanan dari Padang Cermin terasa mulus. Jalanan beraspal membawa kami melintasi pemandangan pedesaan Lampung yang asri. Di kanan dan kiri, hamparan sawah hijau berselang-seling dengan kebun kelapa dan cokelat. Kami melewati desa-desa kecil di mana kehidupan berjalan dengan ritme yang tenang. Anak-anak berlarian di pinggir jalan, dan para petani berangkat ke ladang dengan senyum ramah yang khas.
Namun, semua berubah setelah kami melewati Kecamatan Punduh Pidada. Inilah awal dari "roller coaster" yang sesungguhnya. Jalanan aspal berganti menjadi jalanan tanah berbatu yang menantang. Mobil kami harus bermanuver dengan hati-hati melewati tanjakan curam, turunan tajam, dan tikungan-tikungan yang sempit. Terkadang, kami harus melintasi sungai kecil dengan jembatan kayu yang sederhana.
Meski sedikit memacu adrenalin, setiap guncangan di dalam mobil terbayar lunas oleh pemandangan yang tersaji di luar jendela. Kami melintasi perbukitan hijau yang menakjubkan, dengan lembah-lembah subur di bawahnya. Udara terasa lebih sejuk dan segar. Inilah Lampung yang berbeda, sisi liar dan otentik yang jarang tersentuh. Perjalanan ini bukan sekadar berpindah tempat, melainkan sebuah petualangan yang mengajarkan kami bahwa untuk mencapai surga tersembunyi, seringkali kita harus melewati jalan yang tak biasa.
Senja Pertama di Teluk Kiluan
Setelah perjuangan di jalur yang menantang, sebuah pemandangan magis akhirnya menyambut kami dari kejauhan. Hamparan air biru kehijauan yang tenang, diapit oleh dua tanjung gagah, terbentang di depan mata. Itulah Teluk Kiluan. Rasa lelah seketika sirna, digantikan oleh decak kagum.
Kami tiba di sebuah desa nelayan yang sederhana. Suasananya begitu tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Penginapan kami adalah sebuah pondok kayu sederhana yang menghadap langsung ke teluk. Begitu meletakkan barang, kami tak sabar untuk langsung menuju bibir pantai.
Pasirnya berwarna krem kecokelatan, dengan beberapa formasi bebatuan unik yang menjorok ke laut. Dari kejauhan, kami bisa melihat ikon lain dari kawasan ini, Laguna Gayau dan Batu Gigi Hiu yang berdiri kokoh melawan ombak Samudra Hindia. Perahu-perahu jukung berwarna-warni bersandar rapi di tepi pantai, seolah beristirahat setelah seharian melaut, dan kini menunggu tugas suci esok pagi: mengantar kami bertemu sang lumba-lumba.
Kami duduk di atas sebatang kayu lapuk, membiarkan angin sore membelai wajah. Matahari perlahan mulai turun, mengubah warna langit menjadi kanvas gradasi yang spektakuler. Oranye, merah muda, dan ungu berbaur menjadi satu, memantulkan cahayanya di permukaan air teluk yang tenang. Suara debur ombak yang lembut menjadi satu-satunya musik yang mengiringi senja pertama kami di surga ini.
Malam harinya, kami menikmati makan malam istimewa: ikan bakar segar hasil tangkapan nelayan setempat. Disantap dengan nasi hangat dan sambal terasi khas Lampung, rasanya begitu nikmat dan otentik. Sambil makan, kami berbincang dengan pemilik penginapan, mendengarkan cerita-cerita tentang kehidupan di Kiluan dan tentu saja, tentang kawanan lumba-lumba yang menjadi primadona teluk ini.
Malam semakin larut. Ditemani suara ombak yang menjadi lagu pengantar tidur, kami merebahkan diri dengan hati yang penuh antisipasi. Esok, saat fajar baru menyingsing, kami akan memulai babak baru petualangan kami: berlayar di lautan lepas untuk menyaksikan simfoni ratusan lumba-lumba yang menari di habitat aslinya. Sebuah janji petualangan yang membuat kami tak sabar menunggu pagi datang.
(Bersambung ke Sesi 4: Berburu Fajar dan Menari Bersama Lumba-Lumba Kiluan)
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Jelajah Pesona Tersembunyi Lampung: Dari Biru Pahawang hingga Simfoni Lumba-Lumba Kiluan (Sesi 2)
Babak Kedua: Meninggalkan Surga Bawah Laut Menuju Orkestra Samudra
Kenangan akan gradasi biru toska di perairan Pahawang masih melekat erat di benak kami. Setiap sudut terumbu karang dan ikan badut yang menyapa dari anemonnya seakan menjadi lukisan hidup yang sulit dilupakan. Namun, petualangan kami di Bumi Ruwa Jurai belum usai. Roda kendaraan kini berputar menuju selatan, meninggalkan dermaga Ketapang di belakang. Tujuan kami selanjutnya adalah sebuah nama yang terdengar magis dan penuh janji: Teluk Kiluan. Sebuah teluk terpencil yang dijuluki sebagai panggung bagi simfoni lumba-lumba.
Perjalanan darat dari pesisir Pesawaran menuju Kabupaten Tanggamus, tempat Teluk Kiluan berada, adalah petualangan tersendiri. Jalanan aspal yang mulus perlahan berganti dengan jalur yang lebih menantang, menyusuri perbukitan hijau dan lembah yang memesona. Di sisi kiri, pemandangan Samudra Hindia sesekali mengintip, membentangkan permadani biru tak bertepi. Perjalanan sekitar 3-4 jam ini terasa singkat berkat panorama alam Lampung yang tiada duanya. Melewati desa-desa yang ramah, kami merasakan denyut kehidupan yang lebih tenang dan menyatu dengan alam.
Semakin mendekati Kiluan, peradaban kota seakan luruh sepenuhnya. Sinyal ponsel mulai hilang-timbul, memaksa kami untuk benar-benar terhubung dengan momen saat ini. Akhirnya, kami tiba di sebuah teluk yang tenang, diapit oleh dua tanjung hijau yang kokoh. Airnya jernih, dengan perahu-perahu nelayan tradisional bernama jukung yang bersandar rapi di bibir pantai. Kami disambut oleh pengelola pondok kayu sederhana yang langsung menghadap ke laut. Tak ada kemewahan hotel berbintang, yang ada hanyalah kemewahan alam: suara debur ombak sebagai musik pengantar tidur dan semilir angin laut sebagai penyejuk alami.
Puncak Petualangan: Menyambut Tarian Pagi Sang Lumba-Lumba
Panggilan untuk petualangan terbesar di Kiluan datang saat langit masih berwarna nila pekat. Pukul setengah enam pagi, kami sudah berkumpul di pantai, mengenakan pelampung dengan jantung berdebar penuh antisipasi. Udara dingin yang menusuk tulang tak menyurutkan semangat kami. Bersama seorang nelayan lokal yang merangkap sebagai pemandu, kami menaiki jukung, perahu cadik ramping yang akan membawa kami membelah samudra.
Deru mesin perahu memecah keheningan pagi. Perlahan, jukung kami menjauh dari teluk yang tenang, menuju lautan lepas yang lebih bergelombang. Matahari mulai menampakkan dirinya di ufuk timur, menebarkan cahaya keemasan yang melukis langit dan permukaan laut. Pemandu kami dengan mata tajamnya terus mengamati setiap riak air, mencari tanda-tanda kehidupan.
"Sebentar lagi," ujarnya pelan sambil menunjuk ke satu arah.
Kami menajamkan pandangan. Awalnya tak ada apa-apa. Hanya lautan biru yang luas. Lalu, keajaiban itu terjadi. Sebuah sirip hitam melintas cepat di permukaan, lalu disusul oleh puluhan lainnya. Dalam sekejap, kami dikepung oleh ratusan lumba-lumba!
Ini bukan sekadar melihat lumba-lumba. Ini adalah sebuah pertunjukan orkestra alam yang megah. Kawanan lumba-lumba hidung botol dan lumba-lumba paruh panjang melompat, berputar di udara, dan berenang lincah di samping jukung kami seolah menyambut kedatangan kami. Suara decitan riang mereka terdengar jelas, menciptakan sebuah simfoni yang harmonis dengan debur ombak. Mereka seakan menari tanpa lelah, memamerkan keanggunan dan energi mereka yang tak terbatas di habitat aslinya. Kami terdiam, terpana, hanya bisa mengabadikan momen itu dalam ingatan dan lensa kamera. Pemandangan matahari terbit yang berpadu dengan tarian ratusan lumba-lumba adalah sebuah pengalaman spiritual yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Laguna Gayau: Kolam Pribadi Sang Bidadari
Setelah puas menyaksikan simfoni agung di tengah samudra, petualangan kami belum berakhir. Pemandu mengarahkan jukung ke sebuah sisi tanjung yang dipenuhi bebatuan karang raksasa. Setelah trekking singkat melewati pepohonan dan batuan terjal, kami tiba di sebuah surga tersembunyi lainnya: Laguna Gayau.
Ini adalah sebuah kolam alami raksasa yang terbentuk persis di balik dinding karang. Airnya berwarna biru jernih sebening kristal, terpisah dari ombak ganas Samudra Hindia hanya oleh barikade karang yang kokoh. Kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk melompat ke dalam kesegaran airnya. Berenang di Laguna Gayau terasa seperti memiliki kolam pribadi di tengah alam liar. Sesekali, ombak besar menghantam dinding karang di seberang, menciptakan percikan air yang spektakuler, namun air di dalam laguna tetap tenang dan aman.
Penutup: Dua Wajah Keindahan Lampung
Meninggalkan Teluk Kiluan, kami membawa pulang sebuah perasaan haru dan syukur. Perjalanan "Sesi 2" ini telah menunjukkan wajah lain dari pesona Lampung yang begitu beragam.
Jika Pahawang adalah tentang keindahan yang harus kita selami, sebuah puisi hening di bawah permukaan laut yang penuh warna. Maka, Kiluan adalah tentang keagungan yang melompat ke angkasa, sebuah simfoni agung yang dimainkan di panggung samudra terbuka. Keduanya melengkapi satu sama lain, membuktikan bahwa Lampung adalah kanvas alam yang lengkap. Dari biru tenang perairan dangkal hingga biru pekat lautan dalam, dari keheningan dunia bawah air hingga riuh gembira tarian lumba-lumba, Lampung telah mengukir jejak yang tak akan pernah terhapus dalam jiwa petualangan kami.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Murid mampu menelaah peran masyarakat dan negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di era digital, serta potensi Indonesia menjadi negara maju; mengelaborasi proses interaksi sosial, lembaga sosial, dinamika sosial dan perubahan sistem sosial budaya dalam masyarakat yang majemuk untuk mewujudkan integrasi bangsa dengan prinsip kebhinekaan; menjelaskan konsep dasar ilmu sejarah yaitu manusia, ruang, waktu, kronologi, perubahan; menganalisis keterhubungan antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang ketika mempelajari sejarah lokal dan toponimi wilayah serta berbagai peristiwa atau kejadian penting dalam lingkup lokal, nasional dan global terkait asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia dan jalur rempah nusantara
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui pemahaman dan penyampaian materi melalui blog ini sebagai bahan literasi pendukung, peserta didik dapat menjelaskan dan menganalisis Kisi kisi STS Semester Ganjil. dengan baik serta mempresentasikan di depan kelas menggunakan Canvas, PPT atau video/mind map atau karya lain sesuai dengan kesiapan siswa.