Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Sabtu, 27 September 2025

Fiksi : Sesi 3: Jalur Petualangan Darat dan Senja Pertama di Teluk Kiluan Perpisahan Manis dengan Pahawang

 





Pagi di Pulau Pahawang menyambut kami dengan suasana yang begitu damai. Sisa-sisa euforia petualangan bawah laut kemarin masih terasa, terlukis dalam senyum kami saat menikmati sarapan sederhana yang disiapkan oleh pemilik penginapan. Nasi goreng hangat, ditemani kerupuk renyah dan secangkir kopi robusta Lampung yang pekat, menjadi pengisi tenaga yang sempurna. Aroma kopi yang khas berpadu dengan bau asin udara laut, menciptakan komposisi wangi yang akan selalu kami rindukan.

Dengan berat hati, kami berkemas. Rasanya baru sekejap kami berkenalan dengan ikan nemo yang malu-malu dan terumbu karang yang megah. Kami menaiki perahu yang akan membawa kami kembali ke Dermaga Ketapang. Sambil perahu perlahan menjauh, kami menatap gugusan pulau-pulau di sekitar Pahawang. Pemandangannya begitu syahdu; siluet pulau berlatar langit biru cerah, seolah melambaikan tangan dan berjanji akan selalu menjaga keindahannya hingga kami kembali lagi.

Jalur Darat Penuh Petualangan

Setibanya di Dermaga Ketapang, petualangan kami bertransformasi. Laut biru kami tinggalkan, berganti dengan perjalanan darat menuju destinasi berikutnya yang tak kalah legendaris: Teluk Kiluan. Dari informasi yang kami dapat, perjalanan ini memakan waktu sekitar 3-4 jam, namun bukan durasinya yang menjadi sorotan, melainkan medannya.

Awal perjalanan dari Padang Cermin terasa mulus. Jalanan beraspal membawa kami melintasi pemandangan pedesaan Lampung yang asri. Di kanan dan kiri, hamparan sawah hijau berselang-seling dengan kebun kelapa dan cokelat. Kami melewati desa-desa kecil di mana kehidupan berjalan dengan ritme yang tenang. Anak-anak berlarian di pinggir jalan, dan para petani berangkat ke ladang dengan senyum ramah yang khas.

Namun, semua berubah setelah kami melewati Kecamatan Punduh Pidada. Inilah awal dari "roller coaster" yang sesungguhnya. Jalanan aspal berganti menjadi jalanan tanah berbatu yang menantang. Mobil kami harus bermanuver dengan hati-hati melewati tanjakan curam, turunan tajam, dan tikungan-tikungan yang sempit. Terkadang, kami harus melintasi sungai kecil dengan jembatan kayu yang sederhana.

Meski sedikit memacu adrenalin, setiap guncangan di dalam mobil terbayar lunas oleh pemandangan yang tersaji di luar jendela. Kami melintasi perbukitan hijau yang menakjubkan, dengan lembah-lembah subur di bawahnya. Udara terasa lebih sejuk dan segar. Inilah Lampung yang berbeda, sisi liar dan otentik yang jarang tersentuh. Perjalanan ini bukan sekadar berpindah tempat, melainkan sebuah petualangan yang mengajarkan kami bahwa untuk mencapai surga tersembunyi, seringkali kita harus melewati jalan yang tak biasa.

Senja Pertama di Teluk Kiluan

Setelah perjuangan di jalur yang menantang, sebuah pemandangan magis akhirnya menyambut kami dari kejauhan. Hamparan air biru kehijauan yang tenang, diapit oleh dua tanjung gagah, terbentang di depan mata. Itulah Teluk Kiluan. Rasa lelah seketika sirna, digantikan oleh decak kagum.

Kami tiba di sebuah desa nelayan yang sederhana. Suasananya begitu tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Penginapan kami adalah sebuah pondok kayu sederhana yang menghadap langsung ke teluk. Begitu meletakkan barang, kami tak sabar untuk langsung menuju bibir pantai.

Pasirnya berwarna krem kecokelatan, dengan beberapa formasi bebatuan unik yang menjorok ke laut. Dari kejauhan, kami bisa melihat ikon lain dari kawasan ini, Laguna Gayau dan Batu Gigi Hiu yang berdiri kokoh melawan ombak Samudra Hindia. Perahu-perahu jukung berwarna-warni bersandar rapi di tepi pantai, seolah beristirahat setelah seharian melaut, dan kini menunggu tugas suci esok pagi: mengantar kami bertemu sang lumba-lumba.

Kami duduk di atas sebatang kayu lapuk, membiarkan angin sore membelai wajah. Matahari perlahan mulai turun, mengubah warna langit menjadi kanvas gradasi yang spektakuler. Oranye, merah muda, dan ungu berbaur menjadi satu, memantulkan cahayanya di permukaan air teluk yang tenang. Suara debur ombak yang lembut menjadi satu-satunya musik yang mengiringi senja pertama kami di surga ini.

Malam harinya, kami menikmati makan malam istimewa: ikan bakar segar hasil tangkapan nelayan setempat. Disantap dengan nasi hangat dan sambal terasi khas Lampung, rasanya begitu nikmat dan otentik. Sambil makan, kami berbincang dengan pemilik penginapan, mendengarkan cerita-cerita tentang kehidupan di Kiluan dan tentu saja, tentang kawanan lumba-lumba yang menjadi primadona teluk ini.

Malam semakin larut. Ditemani suara ombak yang menjadi lagu pengantar tidur, kami merebahkan diri dengan hati yang penuh antisipasi. Esok, saat fajar baru menyingsing, kami akan memulai babak baru petualangan kami: berlayar di lautan lepas untuk menyaksikan simfoni ratusan lumba-lumba yang menari di habitat aslinya. Sebuah janji petualangan yang membuat kami tak sabar menunggu pagi datang.

(Bersambung ke Sesi 4: Berburu Fajar dan Menari Bersama Lumba-Lumba Kiluan)

Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Tidak ada komentar: