Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Senin, 11 Agustus 2025

Cerita Fiksi : Labirin Dinding Beracun

ilustrasi labirin 




Gerbang SMA Cakrawala selalu tampak megah dari luar, dengan ukiran "Sekolah Berprestasi" yang terpampang di atasnya. Namun, bagi Naira, setiap langkah yang membawanya masuk adalah perjalanan melewati labirin dinding beracun. Aroma cat baru, tawa renyah teman-teman sekelas, dan bel sekolah yang nyaring—semuanya terasa memuakkan.

Sejak naik ke kelas sebelas, hidup Naira berubah. Bukan karena pelajaran yang makin sulit, tapi karena dinamika kelasnya yang terasa menyesakkan. Di kelasnya, ada beberapa "kasta" tak tertulis. Di puncak, ada geng "Diamond" yang dipimpin oleh Kirana, si anak paling kaya dan punya segalanya. Mereka mendominasi obrolan, menentukan tren, dan memutuskan siapa yang "layak" dianggap gaul.

Naira sebenarnya tidak pernah peduli dengan status, tapi perlahan ia mulai merasakan dampaknya. Setiap obrolan di grup kelas selalu dipenuhi sindiran halus, saling menjatuhkan, atau gosip tak berdasar. Jika ada teman yang berprestasi, alih-alih diberi selamat, justru jadi target gunjingan. "Dia kan cuma beruntung," atau "Pasti nyontek tuh, mana mungkin dia bisa?" Begitulah bisikan-bisikan yang sering Naira dengar.

Ada satu kejadian yang paling membekas. Sarah, teman sebangku Naira yang pemalu tapi sangat cerdas di bidang sains, berhasil memenangkan lomba robotik tingkat provinsi. Naira sangat bangga, tapi Kirana dan gengnya justru menyebarkan rumor bahwa Sarah bisa menang karena ayahnya adalah petinggi di perusahaan teknologi yang menjadi sponsor lomba. Tentu saja itu bohong, tapi bisikan itu menyebar cepat seperti virus. Sarah yang biasanya bersemangat, jadi pendiam, bahkan sering bolos.

"Apa yang salah dengan mereka?" batin Naira suatu hari, saat melihat Kirana tertawa terbahak-bahak menertawakan pakaian seorang teman yang dianggap kampungan. Lingkungan itu membuat Naira merasa harus berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapan. Takut salah bicara, takut menjadi target berikutnya. Ia merasa terjebak dalam standar yang bukan dirinya, berusaha tampil sempurna agar tidak dicela, padahal hatinya menjerit.

Bahkan di media sosial, kehidupan "toxic" ini berlanjut. Postingan yang menunjukkan kebahagiaan sejati jarang ada. Yang ada hanyalah pamer pencapaian, gaya hidup mewah, atau status hubungan yang seringkali palsu. Komentar-komentar penuh iri dengki dan body shaming juga sering ia temui. Naira jadi enggan membuka ponsel, merasa lelah dengan semua kepura-puraan itu.

Pernah suatu kali, Naira mencoba melawan. Saat Kirana mengejek tugas seni rupa teman lain, Naira angkat bicara. "Menurutku itu bagus kok, Kirana. Setiap orang punya gaya sendiri." Ruangan langsung hening. Kirana menatapnya dingin. Setelah itu, Naira merasa diabaikan dan dijauhi. Ia tidak diajak dalam diskusi kelompok, atau diajak bergabung saat istirahat. Kesendirian itu terasa menyakitkan, tapi Naira sadar, itu adalah harga yang harus dibayar untuk menjadi diri sendiri.

Malam harinya, Naira menulis di buku diarinya: "Dinding-dinding SMA Cakrawala memang megah, tapi di dalamnya, aku merasa bernapas di antara udara beracun. Aku ingin mencari celah, sebuah jendela untuk keluar dari labirin ini. Aku tidak mau tenggelam dalam kepalsuan ini."

Naira tahu, tidak semua orang di sekolahnya seperti itu. Ada beberapa teman yang juga merasakan hal yang sama, bersembunyi di balik senyum palsu atau memilih menyendiri. Ia mulai menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari dirinya sendiri. Jika ia tidak bisa mengubah dinding labirin itu, setidaknya ia bisa menemukan jalan keluar atau membangun ruangannya sendiri yang bersih dari racun. Ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, tak tergoyahkan oleh bisikan-bisikan beracun, dan mencari teman-teman yang tulus, bahkan jika itu berarti harus berjalan sendirian untuk sementara waktu.

Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)

Tidak ada komentar: