Mentari pagi di hari ke-15 Ramadan menyapa Bandar Lampung dengan kehangatan yang lembut. Setelah sahur dan salat Subuh berjamaah di Masjid Agung Al-Furqan, tim ekspedisi Ramadan yang terdiri dari Amir, seorang mahasiswa yang penuh semangat; Fatimah, seorang ibu rumah tangga yang bijaksana; dan Rizal, seorang fotografer freelance yang selalu ceria, kembali berkumpul.
Sesi ketiga ekspedisi ini membawa mereka menyusuri salah satu urat nadi kehidupan di Lampung: Sungai Way Sekampung. Tujuan mereka kali ini bukan hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga belajar tentang kearifan lokal masyarakat yang hidup berdampingan dengan sungai ini, terutama dalam menjalankan ibadah puasa.
"Hari ini kita akan melihat bagaimana masyarakat di sepanjang Sungai Way Sekampung menjalani Ramadan," ujar Amir sambil membuka peta di atas kap mobil. "Saya dengar, ada beberapa tradisi unik yang masih mereka lestarikan."
Perjalanan dimulai dengan mobil menuju daerah hilir sungai. Sesampainya di sana, mereka menyewa perahu kecil yang akan membawa mereka menyusuri aliran sungai yang tenang. Di sepanjang tepian sungai, tampak rumah-rumah panggung sederhana dan kebun-kebun karet serta sawah yang menghijau. Anak-anak kecil terlihat riang bermain di tepian sungai, sementara para ibu sibuk mencuci pakaian atau menyiapkan makanan untuk berbuka.
Fatimah tersenyum melihat pemandangan itu. "Sungguh sederhana namun penuh kehangatan," katanya. "Ramadan memang mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang kecil."
Saat waktu zuhur tiba, mereka berlabuh di sebuah desa kecil yang tampak asri. Mereka disambut ramah oleh kepala desa dan diajak untuk salat berjamaah di masjid sederhana yang terbuat dari kayu. Setelah salat, mereka berbincang dengan beberapa warga tentang bagaimana mereka menjalankan ibadah puasa di tengah kesibukan sehari-hari.
"Kami di sini sudah terbiasa berpuasa sambil bekerja di ladang atau mencari ikan di sungai," cerita Pak Usman, seorang nelayan tua dengan kulit legam terbakar matahari. "Yang penting niatnya ikhlas karena Allah. Panas dan lapar sudah menjadi bagian dari ibadah kami."
Rizal tak henti-hentinya mengabadikan momen-momen berharga ini dengan kameranya. Ia menangkap ekspresi wajah para warga yang penuh semangat meski sedang berpuasa, serta interaksi hangat antara tim ekspedisi dengan masyarakat setempat.
Menjelang sore, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sungai. Pemandangan semakin memukau dengan pepohonan rindang yang menjulang tinggi di kedua sisi sungai, serta suara burung-burung yang berkicau merdu. Amir sesekali menghentikan perahu untuk sekadar menikmati ketenangan dan keindahan alam.
"Sungai ini bukan hanya sumber air, tapi juga sumber kehidupan bagi masyarakat di sini," gumam Amir. "Kita bisa belajar banyak tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara manusia dan alam dari mereka."
Saat waktu berbuka puasa semakin dekat, mereka singgah di sebuah dermaga kecil di dekat perkampungan lain. Beberapa ibu-ibu sudah menyiapkan hidangan sederhana untuk berbuka, seperti nasi, ikan bakar, sayur lalapan, dan sambal terasi yang menggugah selera. Mereka dengan senang hati mengajak tim ekspedisi untuk berbuka bersama.
Suasana berbuka puasa di tepi sungai terasa begitu syahdu. Lantunan azan Maghrib dari masjid terdekat berpadu dengan suara gemericik air sungai dan riuh rendah percakapan. Mereka berbagi makanan dan cerita, merasakan kehangatan persaudaraan yang begitu kental di bulan Ramadan.
Setelah salat Maghrib, tim ekspedisi berpamitan kepada warga desa. Mereka membawa pulang bukan hanya foto-foto indah, tetapi juga pelajaran berharga tentang kesederhanaan, ketabahan, dan kearifan lokal dalam menjalankan ibadah puasa.
"Perjalanan hari ini benar-benar membuka mata saya," kata Fatimah saat mereka kembali ke Bandar Lampung. "Saya jadi lebih menghargai nikmat Allah yang sederhana dan semangat ibadah saudara-saudara kita di pelosok desa."
"Benar sekali," timpal Rizal. "Foto-foto ini akan menjadi pengingat yang kuat tentang betapa beragamnya cara kita memaknai dan menjalankan Ramadan di bumi Andalas ini."
Amir tersenyum. Ekspedisi Ramadan sesi ketiga ini telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Menyusuri Sungai Way Sekampung bukan hanya tentang menikmati keindahan alam, tetapi juga tentang belajar dari "sungai kehidupan" masyarakat yang sederhana namun penuh berkah di bulan suci Ramadan. Mereka bertiga pun semakin bersemangat untuk melanjutkan sesi-sesi ekspedisi Ramadan berikutnya, menelusuri jejak-jejak keberkahan di berbagai sudut Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar