Mentari pagi baru saja menyapa atap-atap genting Sekolah Nusantara, tapi ruang aula sudah riuh rendah. Bukan karena bel masuk berbunyi, melainkan karena Pak Surya, guru pembina klub teater "Harmoni Sastra," sudah sibuk memberi arahan. Di depannya, 20 pasang mata siswa-siswi kelas X hingga XII memancarkan campuran kantuk dan antusiasme. Mereka adalah anggota inti klub yang bertekad membawa pulang piala Festival Teater Pelajar Tingkat Provinsi tahun ini.
"Ingat anak-anak, kita hanya punya dua bulan!" suara Pak Surya yang biasanya lembut kini terdengar tegas. "Naskah 'Pelangi di Atas Awan' ini butuh totalitas. Kita harus berkorban waktu, tenaga, bahkan pikiran. Kalian siap?"
Serentak, suara "Siaap!" menggema, meski beberapa di antaranya terdengar sedikit serak. Mereka tahu betul apa artinya komitmen Pak Surya. Guru Bahasa Indonesia itu adalah seorang idealis sejati. Gajinya mungkin tak seberapa, tapi dedikasinya pada sastra dan anak didiknya tak terhingga. Seringkali, Pak Surya menguras kocek pribadinya untuk membeli properti, menyewa kostum, atau sekadar menyediakan camilan saat latihan lembur. Istrinya bahkan kadang menelepon menanyakan kenapa suaminya pulang larut malam, dan Pak Surya selalu menjawab, "Ini demi masa depan mereka, Bu. Demi mimpi anak-anak."
Latihan menjadi rutinitas harian yang melelahkan. Sepulang sekolah, saat siswa lain bersantai atau pulang les, anggota Harmoni Sastra justru memulai "siksaan" mereka. Hana yang tadinya selalu tampil ceria, kini harus memerankan tokoh Rintik, gadis pendiam yang menyimpan kesedihan mendalam. Rio, si jagoan basket, harus belajar berdialog dengan mimik dan gerakan yang halus sebagai Pangeran Langit. Ada tawa, ada tangis, ada frustrasi, bahkan sesekali cekcok kecil karena perbedaan ide.
Suatu sore, saat adegan klimaks, Hana berkali-kali gagal menyampaikan emosi Rintik. Ia merasa buntu, putus asa. "Maaf, Pak, saya rasa saya tidak bisa," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Surya menghampirinya, menepuk pundaknya lembut. "Hana, kamu punya potensi itu. Ingat, Rintik itu seperti pelangi. Dia harus melewati hujan dulu sebelum bisa memancarkan warnanya. Coba resapi lagi. Apa yang membuat Rintik sedih? Apa yang dia rindukan?"
Sambil membimbing Hana, Pak Surya duduk di lantai panggung yang dingin, menjelaskan setiap detail emosi. Ia bahkan meminta Rio, lawan main Hana, untuk membantu "memancing" emosi Hana dengan berdialog secara improvisasi. Mereka berlatih hingga senja berganti gelap, dengan Pak Surya yang terus mendampingi, memberikan air minum, dan sesekali menyanyikan lagu untuk memecah ketegangan.
Tak hanya soal akting, kebersamaan mereka teruji saat kendala teknis muncul. Dana untuk pementasan sangat terbatas. Properti panggung harus dibuat sendiri. Mereka bahu-membahu. Ada yang mencari bekas kardus, ada yang mengecat, ada yang merangkai lampu sederhana. Nita, si paling jago matematika, mendadak jadi desainer properti dadakan. Rudi, si pemalu, ternyata punya bakat memanjat dan memasang tirai. Di bawah arahan Pak Surya, setiap siswa menemukan perannya, bukan hanya di atas panggung, tetapi juga di balik layar. Mereka sadar, kesuksesan bukan hanya tentang satu orang, melainkan upaya kolektif.
Dua minggu sebelum hari-H, cobaan datang. Pak Surya mendadak harus menemani ibunya yang sakit di luar kota selama beberapa hari. Panic melanda anggota klub. Siapa yang akan melatih mereka?
"Kita tidak boleh menyerah!" seru Hana dalam rapat darurat. "Pak Surya sudah mengorbankan banyak hal untuk kita. Sekarang giliran kita menunjukkan bahwa kita bisa mandiri. Kita tahu blocking-nya, kita tahu dialognya. Kita bisa saling mengoreksi!"
Akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap berlatih. Hana mengambil alih sebagai sutradara sementara, dibantu Rio yang fokus pada intonasi, dan Nita yang memastikan properti siap. Mereka saling menyemangati, saling menopang. Saat Pak Surya kembali, ia terpukau melihat semangat anak didiknya yang tak luntur. "Kalian luar biasa," bisiknya terharu.
Hari H tiba. Gedung teater provinsi dipenuhi penonton. Jantung berdegup kencang, keringat dingin membasahi telapak tangan. Sebelum naik panggung, Pak Surya mengumpulkan mereka. "Ingat, anak-anak. Kalian sudah memberikan yang terbaik. Kalian sudah berkorban, kalian sudah membuktikan kebersamaan. Sekarang, nikmati panggung kalian."
Lampu sorot menyala. Tirai terbuka. Selama dua jam, panggung menjadi milik mereka. Hana memerankan Rintik dengan penuh penghayatan, Rio tampil memukau sebagai Pangeran Langit. Setiap dialog, setiap gerakan, setiap ekspresi, memancarkan hasil kerja keras, pengorbanan, dan kebersamaan mereka. Penonton terpukau, beberapa bahkan menitikkan air mata.
Saat pengumuman pemenang, jantung mereka serasa berhenti berdetak. Dan ketika nama "Harmoni Sastra, Sekolah Nusantara!" disebut sebagai juara pertama, aula pecah dengan sorakan gembira. Mereka berlari ke atas panggung, berpelukan erat dengan Pak Surya. Air mata bahagia membasahi pipi.
Piala juara bukan sekadar trofi. Itu adalah simbol dari setiap jam latihan, setiap keringat yang menetes, setiap lelah yang terbayar. Itu adalah bukti nyata pengorbanan seorang guru yang tak kenal lelah, dan kebersamaan siswa-siswinya yang solid. Di bawah payung Sekolah Nusantara, mereka tidak hanya belajar tentang seni, tetapi juga tentang arti sebenarnya dari perjuangan, dedikasi, dan kekuatan sebuah tim. Mereka adalah Harmoni Sastra, yang telah menemukan pelangi mereka sendiri di atas awan, berkat bimbingan dan pengorbanan seorang guru bernama Pak Surya.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar