Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Jumat, 15 Agustus 2025

Fiksi : Guru bukanlah manusia sempurna, bukanlah berhati malaikat, guru juga manusia

 

Pak Budi dan Realita di Balik Sebuah Profesi

Pak Budi bukan sosok yang sering tampil di panggung, apalagi di televisi. Ia hanya seorang guru IPS di SMP Tunas Bangsa, yang setiap pagi disibukkan dengan lalu lalang motor dan tumpukan buku di mejanya. Murid-murid mengenalnya sebagai guru yang sabar, sesekali melontarkan lelucon garing, dan selalu berusaha keras membuat materi sejarah atau geografi jadi sedikit lebih menarik.

Banyak orang bilang guru itu "pahlawan tanpa tanda jasa," berhati malaikat, dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencerdaskan bangsa. Pak Budi tahu narasi itu. Ia menghargainya. Tapi ia juga tahu, jauh di lubuk hatinya, ia hanyalah manusia biasa.

Ada kalanya senang itu datang membanjiri hati Pak Budi. Misalnya, saat ia melihat Fajar, si murid pendiam yang awalnya kesulitan memahami materi Globalisasi, tiba-tiba mampu menjelaskan dampak positif dan negatifnya dengan lancar di depan kelas. Senyum bangga tak bisa ia sembunyikan. Atau ketika ia tak sengaja berpapasan dengan alumni yang sudah sukses dan menyapanya, "Pak Budi, masih ingat saya? Dulu Bapak yang ngajarin saya tentang reformasi!" Perasaan bangga itu tak ternilai harganya. Ia merasa usahanya, meski kecil, ternyata menorehkan jejak.

Namun, kesedihan juga sering menghampiri. Pernah suatu ketika, ia begitu antusias menyiapkan proyek simulasi sidang PBB di kelas. Ia sudah membayangkan murid-muridnya akan antusias, berdebat cerdas. Nyatanya, banyak yang acuh tak acuh, sibuk dengan ponselnya, atau sekadar ikut-ikutan. Hati Pak Budi rasanya mencelos. Ia merasa gagal menyampaikan semangatnya. Lebih pedih lagi, saat ia tahu ada muridnya yang terjerat masalah narkoba di luar sekolah, padahal ia selalu berusaha menanamkan nilai-nilai moral. Rasa sesal dan sedih berbaur menjadi satu. "Apa yang kurang dari pengajaranku?" bisiknya sendiri.

Pernah juga ia merasa bangga luar biasa. Tim cerdas cermat IPS bimbingannya berhasil menjuarai tingkat kabupaten, padahal awalnya mereka diremehkan. Malamnya, ia tidak bisa tidur, terus terbayang wajah-wajah ceria muridnya yang mengangkat piala. Ini bukan hanya kemenangan mereka, tapi juga validasi atas metode pengajarannya, atas kesabarannya membimbing mereka di luar jam pelajaran.

Tapi tak jarang pula kecewa itu muncul. Saat usulannya untuk mengadakan kegiatan pembelajaran di luar kelas berulang kali ditolak karena alasan birokrasi yang rumit. Atau ketika ia merasa sudah mencurahkan segala daya untuk mengajar, tapi nilai ulangan kelas justru jeblok. Kekalahan dan kegagalan itu menusuk. Ia bukan malaikat yang tak punya emosi, bukan pula robot yang tak kenal lelah. Di balik senyumnya di depan kelas, terkadang ada setumpuk beban pikiran tentang kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi dengan gaji yang pas-pasan, atau tentang administrasi sekolah yang tak ada habisnya.

Pak Budi pulang ke rumah sore itu dengan bahu sedikit terkulai. Laptopnya berat berisi tugas-tugas mengoreksi, pikirannya masih memikirkan beberapa murid yang butuh perhatian ekstra. Ia tahu, besok pagi ia akan kembali berdiri di depan kelas, tersenyum, dan mencoba lagi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, dengan segala rasa senang, sedih, bangga, dan kecewa yang silih berganti, Pak Budi tetap seorang guru. Ia manusia biasa, yang berjuang luar biasa untuk sebuah cita-cita: melihat murid-muridnya tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.




Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Tidak ada komentar: