Aku masih ingat betul bagaimana langkah pertama kami dimulai. Di ruang sederhana itu, aku dan anak-anak didikku saling menatap dengan penuh semangat. Mereka membawa mimpi, aku membawa harapan. Kami berjanji untuk berjalan bersama, bahu-membahu, membangun sesuatu yang kelak akan menjadi kebanggaan sekolah kami.
Hari demi hari kami lalui, bukan tanpa rintangan. Ada keringat, ada lelah, bahkan ada air mata. Namun setiap kali semangat mereka mulai meredup, aku hadir untuk meniupkan api kecil agar kembali menyala. Dan setiap kali aku sendiri hampir menyerah, tatapan mata mereka yang penuh keyakinan membuatku berdiri kembali.
Kami tak sekadar guru dan murid. Kami menjadi sebuah keluarga. Ada tawa di sela kerja keras, ada doa di setiap langkah, dan ada pelukan dalam diam ketika rasa letih menguasai. Perlahan, chemistry itu tumbuh, begitu indah dan tak tergantikan.
Namun, di tengah perjalanan yang sedang berbuah manis, aku harus terhenti. Aku digantikan, bukan karena aku ingin pergi, tapi karena ada yang menganggap keberadaanku sebagai hambatan, bahkan saingan. Rasanya seperti disapu badai di tengah laut; aku hanya bisa menatap dari kejauhan ketika bahtera yang kami bangun bersama berlayar tanpa diriku di dalamnya.
Aku melihat senyum anak-anak itu masih ada, tapi aku tahu, ada kekosongan yang tak terucap. Mereka berusaha kuat, namun aku tahu hati kecil mereka menyimpan tanya: “Mengapa harus seperti ini?”
Sakit rasanya harus melepaskan, terlebih setelah begitu banyak cerita, kerja keras, dan mimpi yang kami rajut bersama. Tapi aku percaya, perjuangan kami tak akan sia-sia. Meski aku tak lagi berada di sana, semangat yang sudah kutanam akan tetap hidup dalam diri mereka.
Dan suatu hari nanti, ketika mereka berdiri tegak di puncak keberhasilan, aku akan tersenyum dalam diam. Bukan karena aku diakui, tapi karena aku tahu: benih yang pernah kutanam bersama mereka, kini tumbuh menjadi pohon yang rindang, memberi teduh dan harapan bagi banyak orang.
🌿 Perjuangan mungkin bisa diambil alih, tetapi ikatan hati tak pernah bisa digantikan. 🌿
🌌 Ketika Aku Harus Melepaskan 🌌
Aku bukanlah siapa-siapa, hanya seorang pembina yang datang dengan niat sederhana:
menyalakan api kecil dalam hati anak-anak yang kuanggap seperti keluarga.
Kami memulai dengan tangan kosong, hanya berbekal keyakinan.
Setiap keringat yang menetes, setiap tawa yang pecah, setiap lelah yang terucap,
menjadi saksi betapa kami tumbuh bukan sekadar dalam kegiatan,
tapi dalam kebersamaan yang sulit tergantikan.
Mereka percaya padaku,
dan aku percaya pada mereka.
Kami seperti seutas benang, saling terjalin,
membangun mimpi untuk sekolah yang kami cintai.
Namun di tengah jalan,
aku digantikan.
Bukan karena aku ingin menyerah,
bukan karena aku berhenti berjuang,
tapi karena ada yang melihatku bukan sebagai kawan,
melainkan bayangan yang dianggap penghambat.
Hatiku retak,
melihat perahu yang kami bangun bersama
berlayar tanpa aku di dalamnya.
Aku hanya bisa menatap dari kejauhan,
menyimpan rindu pada tawa mereka,
menahan perih ketika semangat yang kupupuk diambil begitu saja.
Anak-anakku mungkin masih tersenyum,
tapi aku tahu,
di balik senyum itu ada ruang kosong yang tak terucap.
Mereka mencoba kuat,
namun aku yakin,
hati kecil mereka berbisik:
“Mengapa harus seperti ini?”
Kini aku belajar merelakan.
Bahwa perjuangan tak selalu bisa kuakhiri dengan tanganku sendiri.
Namun aku percaya,
benih yang pernah kutanam bersama mereka
akan tumbuh menjadi pohon yang tak tergoyahkan.
Dan kelak,
saat mereka berdiri di puncak keberhasilan,
aku akan tersenyum dalam diam.
Bukan karena namaku disebut,
tapi karena aku tahu,
di setiap langkah mereka,
ada sepotong jiwaku yang tetap hidup.
🌿 Perjuangan bisa direbut,
tapi ikatan hati, tak pernah bisa digantikan. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar