Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas - Sesi 7
Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai
Mentari pagi di hari ke-17 Ramadan menyapa Kang Ijal dengan hangatnya. Setelah menunaikan ibadah subuh di sebuah musala sederhana di pinggir jalan, perjalanan Kang Ijal kali ini membawanya menyusuri kelok-kelok jalan yang membelah Lembah Anai. Udara segar pegunungan bercampur aroma embun pagi menciptakan kedamaian yang menenangkan hati.
Tujuan Kang Ijal kali ini adalah sebuah nagari kecil yang terkenal dengan kerajinan tenunnya. Informasi yang ia dapat dari seorang tokoh masyarakat di sesi sebelumnya menyebutkan bahwa di nagari ini, semangat gotong royong dan kebersamaan di bulan Ramadan masih sangat kental terasa. Kang Ijal penasaran dan ingin menyaksikan langsung jejak keberkahan yang tersembunyi di balik tradisi tersebut.
Setelah beberapa jam berkendara, Kang Ijal akhirnya tiba di nagari yang dimaksud. Rumah-rumah gadang berjejer rapi di antara hamparan sawah yang menghijau. Suara alat tenun yang beradu terdengar sayup-sayup, menambah syahdu suasana pagi itu.
Kang Ijal memarkirkan motornya di dekat sebuah warung kopi sederhana. Sambil menikmati secangkir kopi panas dan goreng pisang, ia mulai berbincang dengan pemilik warung, seorang ibu paruh baya yang ramah.
"Assalamualaikum, Ibu," sapa Kang Ijal dengan senyum.
"Waalaikumsalam, Nak Ijal. Dari mana ini?" jawab Ibu pemilik warung sambil mengelap meja.
"Saya sedang dalam perjalanan mencari jejak keberkahan Ramadan di Bumi Andalas ini, Bu. Kabarnya, di nagari ini semangat kebersamaannya masih sangat kuat," kata Kang Ijal.
Mata Ibu pemilik warung berbinar. "Oh, benar sekali, Nak. Di sini, kami punya tradisi yang sudah turun temurun, terutama di bulan Ramadan ini. Namanya 'Manyulam Silaturahmi'."
Kang Ijal mengerutkan kening, tertarik dengan istilah tersebut. "Manyulam Silaturahmi? Apa itu, Bu?"
"Begini, Nak. Setiap sore menjelang berbuka, para ibu-ibu di nagari ini akan berkumpul di rumah salah satu warga. Mereka membawa makanan dan minuman dari rumah masing-masing, lalu bersama-sama menyiapkan hidangan berbuka untuk disantap bersama," jelas Ibu pemilik warung dengan antusias.
"Wah, indah sekali tradisi itu, Bu," komentar Kang Ijal.
"Tidak hanya itu, Nak. Biasanya, makanan yang berlebih juga akan dibagikan kepada tetangga atau warga yang membutuhkan. Ini adalah cara kami menjaga tali persaudaraan dan saling berbagi di bulan yang penuh berkah ini," lanjut Ibu pemilik warung.
Kang Ijal merasa terharu mendengar cerita tersebut. Ia pun meminta izin kepada Ibu pemilik warung untuk ikut serta dalam tradisi Manyulam Silaturahmi sore itu. Dengan senang hati, Ibu pemilik warung mengantarkan Kang Ijal ke rumah salah seorang tokoh masyarakat yang menjadi koordinator tradisi tersebut.
Sore harinya, Kang Ijal ikut bergabung dengan puluhan ibu-ibu yang sudah berkumpul di rumah seorang Bundo Kanduang (tokoh perempuan adat). Suasana penuh keakraban dan kehangatan terasa begitu kuat. Mereka saling bercanda, berbagi cerita, dan bahu-membahu menyiapkan berbagai macam hidangan lezat.
Kang Ijal tak hanya ikut membantu menyiapkan makanan, tetapi juga aktif berinteraksi dengan para ibu-ibu. Ia mendengarkan cerita-cerita mereka tentang kehidupan di nagari, tentang suka duka menjalani ibadah puasa, dan tentang pentingnya menjaga tradisi Manyulam Silaturahmi ini.
Saat adzan Maghrib berkumandang, semua orang duduk bersila di atas tikar yang terbentang di ruang tengah rumah gadang. Berbagai macam hidangan tersaji di hadapan mereka, mulai dari nasi, lauk pauk khas Minang, hingga aneka kue tradisional dan minuman segar. Mereka berbuka puasa bersama dengan penuh khidmat dan rasa syukur.
Setelah selesai berbuka, Kang Ijal menyampaikan rasa kagumnya terhadap tradisi Manyulam Silaturahmi ini. "Sungguh luar biasa tradisi ini, Bundo. Ini bukan hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga tentang mempererat tali persaudaraan dan menjaga kebersamaan di tengah-tengah kesibukan hidup," ujar Kang Ijal.
Bundo Kanduang tersenyum bijak. "Benar sekali, Nak Ijal. Di bulan Ramadan ini, kami diajarkan untuk saling berbagi dan peduli terhadap sesama. Tradisi Manyulam Silaturahmi ini adalah salah satu cara kami mengamalkan ajaran tersebut."
Sebelum berpamitan, Kang Ijal menyempatkan diri untuk membantu mengantarkan sebagian makanan kepada beberapa warga yang tidak bisa hadir. Ia merasakan kebahagiaan yang tak ternilai harganya bisa menjadi bagian dari tradisi yang penuh dengan nilai-nilai luhur ini.
Malam harinya, sambil menikmati teh hangat di beranda sebuah surau, Kang Ijal merenungkan pengalamannya hari ini. Ia menyadari bahwa jejak keberkahan Ramadan tidak hanya bisa ditemukan dalam ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dalam amalan-amalan sosial yang tulus dan ikhlas. Tradisi Manyulam Silaturahmi di Lembah Anai ini adalah bukti nyata bahwa semangat kebersamaan dan gotong royong masih menjadi kekuatan utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.
Kang Ijal tersenyum. Perjalanannya masih panjang, dan ia yakin masih banyak lagi jejak keberkahan yang akan ia temukan di Bumi Andalas ini. Dengan semangat yang baru, ia siap melanjutkan ekspedisinya esok hari, membawa serta pelajaran berharga tentang indahnya menyulam silaturahmi di bulan Ramadan.
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar