Mentari pagi di hari ke-16 Ramadan menyapa lembut kawasan Ulu Danau. Kabut tipis masih bergelayut manja di atas permukaan air yang tenang, menciptakan lukisan alam yang syahdu. Di tengah keheningan itu, perahu motor sederhana yang membawa Kang Ijal dan tim kecilnya perlahan membelah air. Tujuan mereka hari ini adalah menyusuri apa yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “Sungai Kehidupan”.
“Sungai ini bukan sekadar aliran air, Kang Ijal,” ujar Pak Wali Nagari yang ikut mendampingi perjalanan. “Bagi kami, ini adalah urat nadi kehidupan. Dari sinilah sumber air untuk minum, mengairi sawah, bahkan menjadi jalur transportasi utama sejak dahulu kala.”
Kang Ijal mengangguk, matanya menyapu pemandangan di sekeliling. Rumah-rumah panggung berjejer di tepian sungai, anak-anak kecil tampak riang bermain di pelataran, dan beberapa ibu terlihat mencuci pakaian di air sungai yang jernih. Suasana Ramadan terasa kental, namun aktivitas kehidupan tetap berjalan dengan ritmenya sendiri.
Perjalanan menyusuri sungai membawa Kang Ijal melewati hamparan sawah yang menghijau, kebun-kebun karet yang tertata rapi, hingga hutan-hutan lebat yang masih terjaga keasriannya. Sesekali, mereka berpapasan dengan perahu-perahu lain yang membawa hasil bumi atau sekadar mengantarkan warga antar kampung.
“Lihatlah, Kang,” Pak Wali menunjuk ke arah seorang nelayan tua yang sedang menjala ikan. “Di bulan Ramadan ini, rezeki dari sungai tetap mengalir. Mereka tetap mencari nafkah untuk keluarga, tentu dengan tetap menjalankan ibadah puasa.”
Kang Ijal tertegun. Di tengah keterbatasan dan tantangan hidup di daerah terpencil, semangat untuk mencari rezeki halal dan menjalankan ibadah Ramadan tetap membara. Ia melihat jejak-jejak keberkahan dalam kesederhanaan dan ketangguhan masyarakat Ulu Danau.
Menjelang waktu zuhur, perahu mereka merapat di sebuah dermaga kecil di dekat masjid tua yang tampak sederhana namun kokoh. Kang Ijal dan timnya ikut melaksanakan salat zuhur berjamaah bersama warga setempat. Lantunan ayat suci Al-Quran yang merdu dari seorang anak kecil menambah kekhusyukan suasana Ramadan di masjid tersebut.
Setelah salat, Kang Ijal berkesempatan berbincang dengan beberapa tokoh masyarakat. Mereka bercerita tentang sejarah sungai yang menjadi saksi bisu perkembangan kampung mereka, tentang tradisi gotong royong yang masih kuat, dan tentang harapan mereka akan masa depan yang lebih baik.
“Kami memang jauh dari kota, Kang,” ujar seorang tetua kampung dengan senyum tulus. “Tapi kami punya kekayaan alam yang melimpah dan semangat persaudaraan yang erat. Itu adalah keberkahan yang tak ternilai harganya.”
Menjelang sore, Kang Ijal dan timnya kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sungai. Cahaya matahari yang mulai meredup memantul indah di permukaan air, menciptakan pemandangan yang semakin memukau. Kang Ijal merenungkan semua yang telah dilihat dan didengarnya hari ini.
“Sungai Kehidupan ini benar-benar menyimpan banyak pelajaran,” gumam Kang Ijal. “Bukan hanya tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan alam untuk bertahan hidup, tapi juga tentang bagaimana mereka menjaga nilai-nilai luhur di tengah kesederhanaan.”
Saat waktu berbuka puasa tiba, Kang Ijal dan timnya diundang untuk menikmati hidangan sederhana namun penuh kehangatan di salah satu rumah warga di tepi sungai. Kebersamaan saat berbuka puasa di tengah keluarga baru ini menjadi momen yang tak terlupakan.
Malam harinya, setelah melaksanakan salat tarawih di masjid tua, Kang Ijal duduk di teras rumah panggung tempatnya menginap. Suara jangkrik dan gemericik air sungai menemani malam Ramadan yang tenang. Ia kembali menuliskan catatan perjalanannya, merangkai kata-kata untuk menggambarkan jejak keberkahan yang telah ditemukannya di sepanjang “Sungai Kehidupan” Ulu Danau.
Ekspedisi Ramadan hari ini telah mengajarkan Kang Ijal tentang arti syukur, kesederhanaan, dan kekuatan komunitas. Di tengah aliran “Sungai Kehidupan” yang tenang, ia menemukan denyut nadi keberkahan yang sesungguhnya, tersembunyi di balik keramahan dan ketangguhan masyarakat Bumi Andalas. Perjalanan ini semakin memantapkan keyakinannya bahwa Ramadan adalah saat yang tepat untuk merenungkan makna hidup dan menemukan jejak-jejak keberkahan di setiap sudut negeri.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar