Mentari pagi di Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Setelah bermalam di sebuah surau sederhana di kaki bukit, Kang Ijal dan timnya sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Udara segar pegunungan membawa aroma embun dan dedaunan, memberikan semangat baru setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan di hari sebelumnya.
"Alhamdulillah, Kang," ujar Ustadz Farhan sambil meregangkan otot-ototnya, "semalam tidurnya nyenyak sekali. Udara sini memang menenangkan."
Kang Ijal tersenyum. "Betul, Ustadz. Semoga energi ini bisa kita manfaatkan untuk menebar lebih banyak kebaikan hari ini."
Tujuan mereka hari ini adalah sebuah desa terpencil di atas lembah yang kabarnya cukup sulit dijangkau. Informasi yang mereka dapatkan dari warga sekitar menyebutkan bahwa di desa tersebut terdapat sebuah komunitas kecil yang sangat membutuhkan uluran tangan, terutama menjelang akhir Ramadan.
Setelah sarapan sederhana dengan nasi dan lauk seadanya yang disiapkan oleh pengurus surau, Kang Ijal dan tim mulai bergerak. Jalan setapak yang mereka lalui semakin menanjak dan berbatu. Sesekali mereka harus menyeberangi sungai kecil dengan air yang jernih dan dingin. Pemandangan di sekitar mereka sungguh memukau. Tebing-tebing curam yang diselimuti hijaunya pepohonan, air terjun yang gemuruh dari kejauhan, semuanya menciptakan harmoni alam yang luar biasa.
Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan seorang ibu tua yang sedang memanggul sekeranjang kayu bakar. Langkahnya terlihat berat, namun semangatnya tetap terpancar dari senyum ramahnya.
"Assalamualaikum, Nek," sapa Kang Ijal dengan sopan.
"Waalaikumsalam, Nak," jawab nenek itu sambil berhenti sejenak.
Kang Ijal dan timnya ikut berhenti. Mereka berbincang sejenak dengan nenek tersebut, menanyakan kabarnya dan kondisi desa di atas lembah. Nenek itu bercerita tentang kesulitan hidup mereka, terutama saat bulan puasa seperti ini.
"Kami di sini kadang kesulitan mendapatkan bahan makanan, Nak. Apalagi harga-harga sekarang semakin mahal," keluhnya dengan nada sedih.
Mendengar cerita itu, hati Kang Ijal tergerak. Ia teringat akan tujuan utama ekspedisinya, yaitu untuk berbagi dan meringankan beban sesama, terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.
"Insya Allah, Nek, kami akan berusaha membantu sebisa kami. Kami sedang menuju desa di atas sana, semoga kedatangan kami bisa membawa sedikit kebahagiaan," ujar Kang Ijal dengan tulus.
Nenek itu tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Nak. Semoga Allah membalas kebaikan kalian."
Setelah berpamitan dengan nenek tersebut, Kang Ijal dan timnya melanjutkan perjalanan dengan semangat yang lebih membara. Kata-kata nenek itu semakin menguatkan tekad mereka untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas di desa terpencil tersebut.
Setelah beberapa jam berjalan kaki, akhirnya mereka tiba di desa yang dituju. Desa itu tampak sangat sederhana, dengan rumah-rumah kayu yang berjajar rapi di lereng bukit. Sambutan hangat dari para warga, terutama anak-anak kecil yang berlarian menyambut kedatangan mereka, membuat rasa lelah mereka seketika hilang.
Kang Ijal dan timnya segera berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat untuk menyalurkan bantuan yang telah mereka siapkan. Bantuan berupa paket sembako, perlengkapan ibadah, dan sedikit uang tunai disambut dengan rasa syukur dan haru oleh para warga.
Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Kang Ijal. Di tengah desa terdapat sebuah bangunan kecil yang tampak kurang terawat. Setelah bertanya kepada salah seorang warga, ia mendapatkan informasi bahwa bangunan itu adalah satu-satunya masjid di desa tersebut, namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
"Masjid ini sudah lama tidak direnovasi, Kang. Kami di sini kesulitan dana," ujar seorang bapak paruh baya dengan nada lesu.
Mendengar hal itu, Kang Ijal kembali merasa terpanggil. Ia melihat ini sebagai kesempatan lain untuk menorehkan jejak keberkahan di bumi Andalas.
"Bagaimana kalau kita coba bantu, Ustadz?" bisik Kang Ijal kepada Ustadz Farhan.
Ustadz Farhan mengangguk setuju. "Tentu, Kang. Ini adalah ladang pahala yang sangat besar."
Kang Ijal kemudian menyampaikan niatnya kepada para tokoh masyarakat dan warga desa. Mereka menyambut usulan tersebut dengan antusias. Malam itu juga, Kang Ijal dan timnya bersama-sama dengan warga desa mulai membersihkan masjid tersebut. Meskipun sederhana, semangat gotong royong dan kebersamaan yang terjalin terasa sangat kuat.
Di bawah rembulan yang bersinar terang, suara tawa anak-anak dan obrolan hangat orang dewasa bercampur dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid yang mulai terlihat lebih bersih dan rapi. Kang Ijal tersenyum. Ia merasa bahwa perjalanan Ramadan kali ini tidak hanya tentang memberikan bantuan materi, tetapi juga tentang menumbuhkan harapan dan mempererat tali persaudaraan.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Kang Ijal mendapatkan sebuah kabar yang membuatnya sedikit terkejut. Salah seorang warga desa bercerita tentang sebuah tradisi unik yang hanya dilakukan di desa mereka saat malam Lailatul Qadar. Tradisi apakah itu? Dan bagaimana Kang Ijal akan terlibat di dalamnya?
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar