Mentari pagi Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Embun masih tampak berkilauan di dedaunan hijau yang rimbun, menciptakan suasana syahdu dan menenangkan. Setelah semalam beristirahat di sebuah surau sederhana yang disambut dengan hangat oleh warga setempat, Kang Ijal terbangun dengan semangat baru.
Suara kokok ayam dan lantunan ayat suci Al-Quran dari masjid terdekat menjadi alarm alaminya. Ia segera bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah shalat Subuh berjamaah bersama beberapa warga. Usai shalat, Kang Ijal tak langsung beranjak. Ia duduk bersila, berbincang santai dengan seorang sesepuh kampung bernama Pak Malin.
"Bagaimana tidurnya, Nak Ijal?" tanya Pak Malin dengan senyum ramahnya. Kerutan di wajahnya menambah kesan bijaksana.
"Alhamdulillah, nyenyak sekali, Pak Malin. Udara di sini sejuk dan menenangkan," jawab Kang Ijal, merasakan kedamaian yang sulit ia temui di hiruk pikuk perkotaan.
"Syukurlah. Kami senang bisa menjamu tamu sebaik kamu di bulan yang penuh berkah ini," timpal Pak Malin. "Ada rencana apa hari ini, Nak Ijal?"
Kang Ijal tersenyum. "Rencananya, saya ingin membantu sedikit di dapur umum surau ini, Pak Malin. Semalam saya lihat ibu-ibu sedang menyiapkan bahan untuk berbuka puasa. Sekalian saya ingin belajar masakan khas Lembah Anai."
Pak Malin tertawa kecil. "Wah, ide bagus itu. Masakan di sini memang punya cita rasa yang khas. Ibu-ibu pasti senang sekali dibantu."
Benar saja, ketika Kang Ijal menuju dapur umum surau, ia disambut dengan senyum sumringah para ibu. Aroma rempah-rempah sudah mulai tercium, menggugah selera meski sedang berpuasa. Kang Ijal dengan sigap menawarkan bantuan, mulai dari mengupas bawang, memotong sayuran, hingga mengaduk rendang yang sudah mulai mengeluarkan aroma menggoda.
Sambil bekerja, Kang Ijal tak henti-hentinya bertukar cerita dengan para ibu. Ia belajar tentang berbagai macam bumbu dan teknik memasak khas Minangkabau. Sesekali, mereka bercanda dan tertawa, menciptakan suasana keakraban yang hangat. Kang Ijal merasa seperti berada di tengah keluarga sendiri.
"Nak Ijal ini rajin sekali. Pantas saja banyak orang yang senang dengan kedatanganmu," ujar seorang ibu sambil tersenyum kagum melihat Kang Ijal dengan cekatan mengaduk gulai.
"Ah, saya hanya ingin berbagi sedikit kebahagiaan di bulan Ramadan ini, Ibu. Melihat senyum bahagia di wajah orang lain sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya," jawab Kang Ijal dengan tulus.
Setelah beberapa jam berkutat di dapur, berbagai macam hidangan lezat untuk berbuka puasa telah tersaji. Ada nasi putih hangat, rendang daging sapi yang empuk, gulai ayam yang kaya rempah, sayur nangka yang gurih, serta berbagai macam kue tradisional yang menggugah selera.
Menjelang waktu berbuka, warga mulai berdatangan ke surau. Anak-anak kecil berlarian dengan riang, sementara para orang tua duduk bersila sambil menunggu adzan Maghrib berkumandang. Kang Ijal merasa terharu melihat kebersamaan dan kerukunan yang terjalin di Lembah Anai ini.
Saat suara adzan Maghrib akhirnya terdengar, semua orang serentak menghentikan aktivitas mereka. Mereka membaca doa berbuka puasa dengan khusyuk, lalu mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan bersama-sama. Kang Ijal duduk berdampingan dengan Pak Malin dan beberapa warga lainnya, merasakan nikmatnya berbuka puasa di tengah suasana yang penuh kehangatan dan kekeluargaan.
Selesai berbuka, Kang Ijal kembali berbincang dengan Pak Malin. "Lembah Anai ini indah sekali, Pak Malin. Selain alamnya yang memukau, keramahan warganya juga sangat mengesankan," puji Kang Ijal.
Pak Malin tersenyum bangga. "Alhamdulillah. Kami memang selalu berusaha menjaga tradisi gotong royong dan saling menghormati. Apalagi di bulan Ramadan ini, semangat kebersamaan semakin terasa."
"Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari kebersamaan ini," kata Kang Ijal. "Semoga silaturahmi yang terjalin hari ini bisa terus terjaga dan membawa berkah bagi kita semua."
Malam semakin larut. Setelah menunaikan ibadah shalat Isya dan Tarawih berjamaah, Kang Ijal berpamitan kepada Pak Malin dan warga lainnya untuk beristirahat. Ia merebahkan diri di atas tikar di surau, merasakan kelelahan namun juga kebahagiaan yang tak terhingga.
Di benaknya, ia sudah merencanakan kegiatan untuk esok hari. Ia ingin mengunjungi beberapa rumah warga, berbagi cerita dan sedikit rezeki, serta lebih jauh mengenal kehidupan masyarakat Lembah Anai. Perjalanan Ramadan Kang Ijal di Bumi Andalas masih panjang, dan setiap langkahnya adalah jejak keberkahan yang menyulam silaturahmi.
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar