Setelah lulus dengan predikat terbaik dari jurusan Teknik Informatika, Krisna tidak langsung memilih jalur perusahaan teknologi yang glamor. Ingatannya tentang janji kepada sang Ayah dan tekadnya untuk membuat perubahan mendorongnya ke jalur yang jarang dilirik oleh teman-temannya: seleksi Calon Abdi Negara.
Tahapan demi tahapan ia lalui. Ujian Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang menguji wawasan kebangsaan, intelegensia umum, dan karakteristik pribadi terasa seperti bug hunting terpanjang dalam hidupnya. Namun, bekal pemikiran logis dari dunia pemrograman membantunya menyusun strategi belajar yang efektif dan sistematis.
Akhirnya, surat pengumuman itu datang. Krisna resmi diterima sebagai Analis Sistem Informasi di sebuah kementerian yang bertanggung jawab atas data dan statistik nasional.
Babak 1: Realitas "Sistem Lama"
Hari pertamanya di kantor adalah kejutan budaya. Ia membayangkan ruangan penuh server canggih dan rekan kerja yang berbicara dalam bahasa Python dan Cloud Computing. Sebaliknya, ia disambut oleh tumpukan berkas fisik yang menjulang, komputer-komputer dengan spesifikasi kuno, dan sistem informasi yang berjalan di atas platform yang sudah sangat usang.
"Selamat datang, Krisna," sapa Pak Budi, kepala seksi yang ramah, "Sebagai Abdi Negara, tugas kita adalah melayani masyarakat, dan di sini, tugasmu adalah memastikan data kita valid dan terintegrasi."
Krisna tersenyum, namun dalam hati ia berpikir, "Bagaimana mungkin bisa valid dan terintegrasi kalau datanya masih sering dicatat manual di buku besar, lalu di-input ke dalam sistem yang sering crash?"
Pelajaran 1: Pemrograman Bukan Hanya Kode, Tapi Solusi
Pada minggu-minggu pertama, Krisna merasa frustrasi. Ia terbiasa membuat sistem yang sempurna, tetapi di sini, ia dihadapkan pada keterbatasan anggaran, birokrasi, dan resistensi perubahan dari beberapa pegawai senior.
Suatu sore, ia melihat seorang petugas di loket pelayanan publik yang tampak kelelahan. Petugas tersebut harus memeriksa data pemohon secara manual di tiga database yang berbeda hanya untuk mengeluarkan satu surat rekomendasi.
"Maaf, Bu, apakah data-data ini tidak bisa disatukan?" tanya Krisna.
"Tidak semudah itu, Nak. Masing-masing departemen punya sistemnya sendiri. Sudah begini dari dulu," jawab Ibu petugas itu pasrah.
Malam itu, Krisna merenung. Ia ingat kata-kata dosennya: "Seorang programmer sejati tidak hanya menulis kode; ia memecahkan masalah kehidupan nyata dengan logika digital."
Ia menyadari bahwa pengabdiannya bukan hanya tentang menciptakan teknologi terbaru, tetapi tentang menyederhanakan proses yang rumit, membuat pekerjaan rekan kerjanya lebih ringan, dan membuat pelayanan publik menjadi lebih cepat dan transparan untuk masyarakat.
Babak 2: Proyek 'Database Integrasi'
Dengan izin Pak Budi, Krisna mengajukan proposal inisiatif: proyek "Integrasi Data Layanan Dasar."
Ini bukan proyek besar yang butuh dana miliaran. Ia mulai dari hal terkecil: membuat sebuah API sederhana yang memungkinkan ketiga database yang terpisah itu untuk "berbicara" satu sama lain secara aman. Ia menggunakan pengetahuan back-end dan security yang ia pelajari di bangku kuliah untuk menjembatani sistem-sistem lama tersebut tanpa perlu merombak semuanya dari awal.
Tentu saja, ia harus menghadapi tantangan:
Etika dan Keamanan Data: Ia harus meyakinkan semua pihak bahwa data masyarakat akan aman dan hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan.
Pelatihan Pegawai: Ia harus sabar melatih para pegawai senior yang terbiasa dengan metode manual untuk beralih menggunakan antarmuka barunya.
Pelajaran 2: Debugging Sosial
Suatu ketika, seorang pegawai senior, Bapak Tulus, menolak menggunakan sistem baru Krisna. "Saya sudah 20 tahun kerja, cara manual ini lebih aman dan saya sudah hafal di luar kepala!" protesnya.
Alih-alih memaksa, Krisna mendekati Bapak Tulus dengan hormat.
"Pak Tulus, saya tahu Bapak ahli dalam data ini. Sistem baru ini tidak akan menggantikan Bapak. Justru, sistem ini akan membantu Bapak. Kalau sebelumnya butuh 30 menit untuk cek data, dengan sistem ini, Bapak hanya perlu 5 menit. Sisa 25 menitnya bisa Bapak gunakan untuk melayani lebih banyak orang atau istirahat sebentar," jelas Krisna.
Ia juga memasukkan fitur "log histori" yang sangat transparan, sehingga Bapak Tulus bisa melihat bahwa jejak digital pekerjaannya tercatat rapi dan aman. Perlahan, Bapak Tulus pun luluh. Ia mulai mencoba, dan terkejut dengan kecepatan dan akurasi yang ditawarkan sistem Krisna.
Krisna belajar: Perubahan teknologi harus diiringi dengan "Debugging Sosial," yaitu memecahkan resistensi dan meyakinkan orang bahwa teknologi adalah alat, bukan ancaman.
Epilog Mini:
Dua bulan kemudian, waktu tunggu untuk mendapatkan surat rekomendasi yang dulunya 1-2 hari kerja kini bisa selesai dalam hitungan jam. Pujian mulai berdatangan dari masyarakat yang merasa puas.
Melihat keberhasilan kecil ini, Krisna merasa getaran kepuasan yang jauh lebih besar daripada ketika ia mendapatkan nilai A di mata kuliah terberatnya. Ia menyadari, Kode yang ia tulis hari ini adalah pelayanan yang ia berikan besok.
Ia kini adalah seorang Abdi Negara sejati. Ia tidak hanya melayani di balik meja, tetapi ia melayani melalui "algoritma pengabdian" yang ia susun dengan hati, dari seorang anak yang tadinya hanya berbekal keyboard dan cita-cita.
Pertanyaan Refleksi Edukatif untuk Pembaca:
Menurutmu, mengapa seorang Abdi Negara di bidang teknologi harus memiliki kemampuan "Debugging Sosial" selain kemampuan teknis?
Jika kamu adalah Krisna, langkah etis apa yang akan kamu ambil pertama kali saat melihat sistem pelayanan publik yang tidak efisien?
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar