Sholat shubuh Mekkah, 28 Oktober 2025
Mekkah, 28 Oktober 2025
Bus yang membawa rombongan kami berhenti perlahan di pelataran hotel kawasan Ajyad. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 22.00 Waktu Arab Saudi. Udara akhir Oktober di Mekkah terasa bersahabat, tidak terlalu menyengat, namun tetap membawa kehangatan khas tanah gurun.
Namaku Raka. Ini adalah perjalanan umroh pertamaku. Jujur saja, ada gumpalan kecemasan yang menggelayut di dada sejak pesawat mendarat di Jeddah. Aku mendengar banyak cerita—cerita tentang orang yang tersesat, terhimpit ribuan jamaah, hingga cerita mistis tentang balasan amal perbuatan yang langsung dibayar tunai di Tanah Suci. Aku bukan manusia suci; dosa-dosa masa lalu terasa seperti ransel penuh batu yang kupikul di punggung.
"Ayo, Raka. Fokus luruskan niat," bisikku pada diri sendiri sambil merapikan kain ihram yang membalut tubuh.
Setelah meletakkan koper di kamar, Mutawif (pembimbing) kami, Ustadz Hanif, mengumpulkan rombongan di lobi. Wajahnya teduh. "Bapak Ibu, malam ini Tanah Haram sedang padat-padatnya. Musim umroh sedang di puncaknya. Rapatkan barisan, jangan terpisah. Tawakkal."
Kalimat itu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Kami berjalan beriringan menuju Masjidil Haram.
Begitu kaki melangkah masuk melewati Gerbang King Abdul Aziz, duniaku seakan berhenti berputar. Di sana, di tengah pelataran marmer putih itu, Ka'bah berdiri megah. Hitam, kokoh, dan memancarkan wibawa yang meruntuhkan segala kesombongan. Air mataku tumpah tanpa permisi. Rasanya seperti anak kecil yang pulang ke rumah setelah tersesat puluhan tahun.
"Mari kita mulai Tawaf," komando Ustadz Hanif.
Kami turun menuju pelataran mataf. Pemandangan di depan mataku adalah lautan manusia. Ribuan jemaah berputar mengelilingi Ka'bah seperti pusaran air raksasa berwarna putih. Suara gemuruh doa terdengar seperti lebah yang mendengung. Logikaku berkata, ini mustahil bisa ditembus dengan mudah. Tubuhku kecil, dan di sana banyak jemaah berpostur tinggi besar dari Afrika dan Turki.
Namun, saat aku melangkahkan kaki kanan dengan niat Bismillahi Allahu Akbar, keajaiban itu dimulai.
Seharusnya, aku berdesakan. Seharusnya, aku tersikut. Tapi malam itu, tanggal 28 Oktober 2025, hukum fisika seolah tidak berlaku bagiku.
Begitu aku masuk ke arus putaran, kerumunan di depanku seolah membelah diri. Seperti ada tangan tak kasat mata yang membuka jalan. Di putaran pertama, aku berada di lingkar luar. Namun entah bagaimana, arus membawaku semakin ke tengah dengan lembut. Tidak ada dorongan kasar, tidak ada himpitan yang menyesakkan napas.
Aku melihat seorang bapak tua di sebelah kiriku terjepit, tapi anehnya, di sekelilingku ada ruang kosong sekitar setengah meter. Seolah aku berada di dalam gelembung pelindung. Aku bisa melihat Hajar Aswad dari jarak yang cukup dekat tanpa harus bertarung nyawa.
Tujuh putaran Tawaf yang biasanya memakan waktu satu jam atau lebih karena kepadatan, terasa berlalu secepat kedipan mata. Setiap langkah terasa ringan, seolah lantai marmer itu memiliki pegas yang mendorong kakiku. Keringat menetes, tapi bukan keringat lelah, melainkan keringat kepuasan batin.
"Sudah selesai tujuh putaran?" tanya teman sekamarku, Mas Bayu, saat kami menepi untuk shalat sunnah di belakang Maqam Ibrahim. Wajahnya tampak heran. "Cepat sekali, Rak? Perasaan tadi kamu di belakangku."
Aku hanya tersenyum, masih takjub. "Aku nggak tahu, Mas. Jalannya... terbuka begitu saja."
Kami melanjutkan ke prosesi Sai. Berjalan kaki bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Total jaraknya hampir 3 kilometer. Bagi fisikku yang jarang olahraga, ini seharusnya menyiksa. Apalagi setelah perjalanan jauh dari Indonesia.
Di bukit Safa, aku menatap ke arah Ka'bah dan berdoa. “Ya Allah, jika kemudahan saat Tawaf tadi adalah sambutan-Mu, maka izinkanlah aku menyelesaikan Sai ini dengan kekuatan dari-Mu.”
Dan sekali lagi, keajaiban itu terulang.
Saat kakiku melangkah menuruni Safa, rasa lelah di betis yang sempat muncul tiba-tiba sirna. Lantai sa'i yang dingin terasa memijat telapak kakiku. Di area lampu hijau—tempat disunnahkan berlari-lari kecil—aku berlari dengan semangat yang entah datang dari mana. Napasku teratur, jantungku berdetak tenang.
Di lintasan Sai yang padat, aku melihat orang-orang duduk kelelahan di pinggir jalur, memijat kaki mereka, atau meminum air zam-zam dengan rakus karena dehidrasi. Tapi aku? Aku merasa seperti sedang berjalan di atas awan.
Langkah demi langkah, putaran demi putaran. Satu, dua, tiga... hingga putaran ketujuh berakhir di bukit Marwah.
Saat gunting menyentuh ujung rambutku untuk Tahallul (tanda selesainya ibadah umroh), aku melirik jam tangan. Waktu yang kami tempuh jauh lebih singkat dari prediksi Ustadz Hanif. Bahkan Ustadz Hanif menepuk bahuku.
"Masya Allah, Raka. Kamu jalannya kayak terbang. Saya sampai kewalahan ngejar kamu tadi," canda Ustadz Hanif.
Aku tertegun duduk di bebatuan bukit Marwah. Tanggal 28 Oktober 2025 ini menjadi saksi bisu dialog batinku dengan Sang Pencipta. Aku sadar, kemudahan ini bukan karena aku hebat, bukan karena aku kuat, dan mungkin bukan karena aku pantas.
Ini adalah cara Allah memberitahuku: "Datanglah pada-Ku dengan berserah, maka Aku akan mudahkan jalanmu, serumit apa pun itu."
Di tengah keramaian Marwah, aku menunduk dalam. Rasa takut dan cemas yang kubawa dari tanah air telah menguap, digantikan oleh ketenangan yang luar biasa. Ibadah malam itu bukan sekadar ritual fisik, melainkan sebuah pelukan hangat dari Langit yang mengatakan bahwa aku diterima.
Malam itu, aku kembali ke hotel dengan kaki yang ringan dan hati yang penuh. Mekkah telah memelukku dengan kelembutan yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar