Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Sabtu, 15 November 2025

Madinah, Kota dengan Hati yang Menenangkan



Pagi itu, setelah umrah wajib yang penuh haru, Patih Ijal bersiap melanjutkan perjalanan menuju Madinah Al-Munawwarah. Udara Mekkah masih hangat meski matahari baru beranjak naik. Di lobi hotel, jamaah berkumpul, menunggu bus yang akan membawa mereka menuju kota yang pernah menjadi pijakan langkah Rasulullah ﷺ.

Patih Ijal menggenggam tas kecil berisi Al-Qur’an dan buku catatan. Di dalam hatinya ada kerinduan yang sulit digambarkan — kerinduan untuk mengunjungi kota Nabi, kota yang dibangun dengan cinta, perjuangan, dan wahyu.

“Ya Allah, pertemukan hamba dengan Rasul-Mu dalam keadaan hati yang bersih,” doanya sebelum bus berangkat.

Perjalanan ke Madinah: Gurun, Doa, dan Renungan

Bus mulai melaju meninggalkan Kota Mekkah. Perjalanan ini panjang, melintasi hamparan gurun luas yang seakan tak berujung. Namun bagi Patih Ijal, gurun bukan tempat kosong — ia justru terasa sebagai halaman sejarah, tempat para sahabat berjalan dengan iman yang kokoh.

Dalam perjalanan, pembimbing rombongan berkisah tentang hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Mekkah ke Madinah. Patih Ijal menyimak dengan penuh takzim. Bayangan perjalanan hijrah itu seolah menari di balik kaca jendela bus: pasir, bebatuan, dan langkah kaki penuh keberanian.

Ia menutup mata, membayangkan bagaimana Rasulullah ﷺ meninggalkan kampung halaman demi menyelamatkan dakwah Islam.

“Perjalanan ini bukan hanya melangkahkan kaki,” gumamnya,
“tetapi juga melangkahkan hati mendekati jejak Nabi.”


Madinah: Kota yang Menyapa dengan Kedamaian

Saat bus memasuki Madinah, suasana berubah. Udara yang lebih sejuk dan angin lembut menyapa wajah. Berbeda dengan Mekkah yang terasa megah dan agung, Madinah menghadirkan keheningan yang menenangkan. Kota ini seolah memiliki hati.

Gedung-gedung di sekitar Masjid Nabawi tampak bercahaya oleh pantulan matahari sore. Patih Ijal turun dari bus, lalu menatap menara-menara tinggi Masjid Nabawi yang menjulang. Ada rasa tak percaya… bahwa ia kini berada di kota yang menjadi tempat berpulangnya manusia termulia.

“Assalamu’alaika ya Rasulallah…” bisiknya tak sadar.


Masuk ke Masjid Nabawi

Malam itu, rombongan bersiap masuk ke Masjid Nabawi. Pintu masjid berlapis motif emas terbuka lebar, memancarkan cahaya yang membuat hati bergetar. Aroma khas karpet masjid dan suara lembut murottal Qur’an menambah kedamaian.

Ketika melangkah masuk, Patih Ijal hampir meneteskan air mata. Suasana di dalam masjid begitu sunyi dan penuh ketenteraman. Ratusan jamaah duduk membaca Qur’an, berdzikir, atau salat dengan khusyuk.

Ia duduk sejenak, memejamkan mata, dan merasakan keteduhan luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Mengunjungi Raudhah: Taman Surga

Waktu berkunjung ke Raudhah telah tiba — area di antara mimbar dan makam Nabi ﷺ yang disebut sebagai taman dari taman-taman surga. Jamaah bergerak perlahan, sebab Raudhah selalu penuh oleh orang yang ingin berdoa.

Ketika Patih Ijal akhirnya melangkah ke karpet hijau, dadanya serasa ditarik oleh getaran halus. Ia berdiri di tempat yang sama di mana Rasulullah ﷺ sering berdiri, menyampaikan wahyu, memberi nasihat, dan menerima sahabat-sahabatnya.

Ia menengadahkan tangan, berdoa dalam bisikan:

“Ya Rasulullah… meski hamba tak pernah bertemu wajahmu,
namun cintamu mengajarkan kami tentang hidup.
Ya Allah… sampaikan salam cintaku untuk Nabi-Mu.”

Air matanya jatuh. Ia berdoa untuk keluarganya: untuk Eva agar selalu kuat, untuk Krisn agar tumbuh menjadi lelaki saleh, untuk Kekey agar menjadi perempuan yang lembut hatinya, untuk Adit agar selalu ceria, dan untuk kedua orang tua agar Allah panjangkan usia mereka.

Ziarah ke Makam Rasulullah ﷺ

Setelah Raudhah, rombongan berjalan melewati area makam Rasulullah ﷺ yang diberi pagar hijau berukir. Patih Ijal berhenti, menatap pagar itu dengan hati yang gemetar.

“Assalamu’alaika ya Rasulullah…
Assalamu’alaika ya Abu Bakar…
Assalamu’alaika ya Umar bin Khattab…”

Ketiga tokoh agung itu bersemayam di tempat itu — para pemimpin yang wajahnya hanya ia kenal dari kisah-kisah, tapi cintanya ia rasakan hingga hari ini.

Ia berdiri lama di sana, seolah ingin mengukir momen itu di dalam hatinya selamanya. 

Malam di Kota Nabi

Malam di Madinah tenang, dengan angin lembut yang menyentuh kulit seolah mengajak jamaah untuk merenung. Patih Ijal duduk sendirian di pelataran masjid, memandang langit Madinah yang bertabur bintang.

Ia menulis pesan untuk keluarga:

“Eva, Krisn, Kekey, Adit, dan Ayah Ibu…
Malam ini Abi berada di Raudhah.
Suasananya seperti taman surga… damai, tenang, membuat hati luluh.
Abi titip rindu dan doa untuk kalian semua.
Madinah membuat hati ini ingin terus menjadi lebih baik.”

Eva membalas:

“Kami semua merasa dekat denganmu, Abi. Semoga engkau pulang sebagai hamba yang lebih kuat imannya.”

Patih Ijal tersenyum.
Di hati kecilnya, ia tahu — perjalanan rohani ini telah mengubahnya. Ia datang sebagai seorang hamba yang membawa harapan, dan perlahan, Allah mengisinya dengan ketenangan.

Nilai Literasi dan Pesan Moral

  • Madinah mengajarkan kedamaian, keteladanan, dan cinta kepada Rasulullah ﷺ.

  • Raudhah mengingatkan bahwa surga bukan sekadar tempat, tetapi ketenangan hati yang dekat dengan Allah.

  • Perjalanan rohani membentuk karakter: sabar, bersyukur, dan rendah hati.

  • Jejak Rasul selalu mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi yang lebih lembut dan penuh kasih.


Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)

Tidak ada komentar: