Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Jumat, 21 November 2025

Jejak Air Mata di Gerbang Babussalam

 



Jejak Air Mata di Gerbang Babussalam

Madinah Al-Munawwarah, 15 Oktober 2025.

Angin musim gugur di Madinah terasa berbeda tahun ini. Di pertengahan Oktober 2025, suhu udara menyentuh angka 28 derajat celcius, cukup bersahabat bagi para jamaah yang datang dari negara tropis. Namun, bagi Patih Ijal, kesejukan itu tidak mampu mendinginkan gemuruh di dadanya.

Patih berdiri terpaku di pelataran Masjid Nabawi. Di hadapannya, payung-payung raksasa yang ikonik itu sedang perlahan menguncup seiring matahari yang mulai tenggelam, membiarkan langit senja berwarna ungu memayungi ribuan manusia.

"Jangan biarkan hatimu tertinggal di hotel, Patih. Bawa dia ke sini," sebuah suara lembut namun tegas menyapa dari samping.

Patih menoleh. Itu Ustad Ahmad, pembimbing umrohnya. Pria paruh baya dengan janggut yang mulai memutih itu tersenyum teduh. Di tangannya tergenggam tasbih digital yang tak pernah berhenti berkedip.

"Saya merasa... tidak pantas, Ustad," gumam Patih, suaranya tercekat. "Saya datang dengan membawa gunung dosa. Apakah Rasulullah sudi menerima salam dari pendosa seperti saya?"

Ustad Ahmad menepuk bahu Patih. "Ingatlah, Patih. Kita tidak ke sini karena kita suci. Kita ke sini justru karena kita butuh dibersihkan. Rasulullah itu Rahmatan lil 'Alamin. Rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi pendosa yang ingin pulang."

Ustad Ahmad melihat jam tangannya. Aplikasi Nusuk di ponselnya menunjukkan notifikasi berwarna hijau.

"Waktunya sudah tiba. Jadwal masuk Raudhah kita pukul 20.00. Ayo, luruskan niat. Kita akan sowan kepada Kekasih Allah."


Langkah kaki Patih terasa berat saat mereka memasuki area antrean menuju Raudhah. Tahun 2025, sistem pengaturan jamaah sudah sangat canggih. Gerbang-gerbang otomatis dengan pemindai wajah mengatur arus manusia agar tidak terjadi penumpukan fatal. Namun, desak-desakan fisik tetap tak terhindarkan. Ribuan orang dengan kerinduan yang sama berkumpul di satu titik.

"Pegang pundak saya, Patih. Jangan lepas," perintah Ustad Ahmad saat mereka mulai terhimpit di antara jamaah bertubuh besar dari Afrika dan Asia Tengah.

Patih Ijal berjuang mengatur napas. Aroma minyak wangi oud yang tajam bercampur dengan keringat manusia. Suara gumam dzikir mendengung seperti lebah. Jantung Patih berdegup kencang bukan karena takut terinjak, melainkan karena ia sadar, hanya tinggal beberapa meter lagi ia akan berdiri di tempat paling mulia di muka bumi.

Tiba-tiba, arus manusia terhenti. Seorang askar (petugas keamanan) berteriak dalam bahasa Arab, meminta jamaah duduk. Patih terdorong jatuh ke karpet merah—batas sebelum karpet hijau Raudhah.

"Sabar," bisik Ustad Ahmad yang ikut terduduk di sebelahnya. "Ini ujian adab. Rasulullah sedang melihat bagaimana caramu bersabar sebelum menemuinya."

Patih memejamkan mata. Bayangan masa lalunya yang kelam berputar. Kesalahan-kesalahan yang ia buat, janji-janji yang ia ingkari kepada Tuhan. Air matanya menetes tanpa permisi.

"Ya Rasulullah... aku malu," batinnya menjerit.

Pintu penyekat dibuka. Gelombang manusia kembali bergerak. Kali ini lebih cepat, lebih emosional. Patih Ijal terbawa arus hingga kakinya memijak karpet berwarna hijau toska.

Raudhah. Taman Surga.

Ustad Ahmad dengan sigap menarik lengan Patih ke sebuah celah kosong di belakang tiang Aisyah. "Shalatlah dua rakaat, Patih! Sekarang! Ustad akan menjagamu dari belakang."

Patih Ijal tak membuang waktu. Ia bertakbir. Allahu Akbar. Dunia seakan hening seketika. Di tengah hiruk-pikuk ribuan manusia yang menangis dan berdoa, Patih merasa hanya berdua dengan Tuhannya. Dalam sujud terakhirnya, ia menumpahkan segala beban. Lantai marmer yang dingin itu basah oleh air matanya. Ia meminta ampunan, ia meminta arah hidup baru.

Usai salam, Ustad Ahmad memberi isyarat. "Ayo, kita sampaikan salam."

Mereka bergeser perlahan ke arah kiri, menuju makam Rasulullah SAW. Patih Ijal gemetar. Di balik jeruji emas berhias kaligrafi indah itu, berbaring jasad manusia paling mulia yang pernah tercipta.

Patih mengangkat tangannya, tapi lidahnya kelu. Ia lupa semua susunan doa yang sudah ia hapalkan dari buku panduan.

"Ucapkan, Patih," bisik Ustad Ahmad lembut di telinganya. "Beliau mendengar. Beliau menjawab."

Dengan suara parau dan terbata-bata, Patih berucap, "Assalamualaika ya Rasulullah... Assalamualaika ya Habiballah... Aku... umatmu yang penuh dosa datang merindukanmu..."

Hanya itu. Patih tidak bisa melanjutkan. Tangisnya pecah. Ia merasa seolah ada hembusan angin sejuk yang menerpa wajahnya di tengah kerumunan yang panas itu. Sebuah perasaan damai yang aneh namun nyata menyelinap masuk ke dalam rongga dadanya. Rasa penerimaan. Seolah Rasulullah tersenyum dan berkata, "Aku tahu. Aku menunggumu."

Askar memberi isyarat agar mereka terus berjalan, tidak boleh berhenti terlalu lama. Patih berjalan mundur perlahan, matanya tak mau lepas dari jeruji makam, seakan ingin merekam momen itu selamanya.

Ustad Ahmad merangkulnya saat mereka keluar melalui pintu Baqi. Udara malam Madinah menyambut mereka.


Keduanya duduk bersila di pelataran masjid, menghadap Kubah Hijau yang kini tersorot lampu keemasan. Patih Ijal masih sesenggukan, namun wajahnya terlihat jauh lebih cerah.

Ustad Ahmad menyodorkan sebotol air Zamzam. "Minumlah. Niatkan untuk kesembuhan hatimu."

Patih meneguknya. Segar.

"Tadi di dalam... saya merasa tidak bisa bicara apa-apa, Ustad. Saya cuma menangis," kata Patih pelan.

Ustad Ahmad tersenyum, memandang langit Madinah yang bertabur bintang. "Itulah bahasa rindu yang paling jujur, Patih. Terkadang, kata-kata hanya menjadi hijab. Air mata adalah doa yang tak perlu diterjemahkan."

"Rasanya seperti... beban bertahun-tahun diangkat begitu saja," Patih memegang dadanya. "Apakah ini nyata?"

"Nyata," jawab Ustad Ahmad mantap. "Mulai hari ini, Oktober 2025 ini, catatlah sebagai hari kelahiranmu yang kedua. Kamu pulang dari rumah Nabi bukan sebagai orang yang sama. Jagalah 'oleh-oleh' rasa damai ini saat kembali ke tanah air nanti."

Patih Ijal mengangguk. Ia menatap kembali Kubah Hijau. Di sana, di bawah naungan langit Madinah, ia berjanji. Bukan janji muluk-muluk, hanya janji sederhana: untuk menjadi manusia yang lebih baik, agar kelak ia pantas untuk benar-benar berkumpul dengan Sang Kekasih di telaga-Nya.

Malam semakin larut di Madinah, namun hati Patih Ijal baru saja terbit fajar



Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)

Tidak ada komentar: