Kota Taif
Kabut Wangi di Puncak Al-Hada
Oktober 2025.
Udara Makkah siang itu masih menyengat, namun kabar tentang sejuknya pegunungan Sarawat sudah terbayang di pelupuk mata. Sebuah bus VIP melaju perlahan meninggalkan keramaian kota suci, membawa rombongan kecil yang dipimpin oleh Kiyai Husin, seorang ulama sepuh yang kharismatik dengan sorban putih yang senantiasa rapi.
Di kursi depan, duduk Patih Ijal. Meski namanya terdengar seperti pejabat kerajaan masa lampau, Ijal adalah sosok pemuda tangguh, pengatur logistik perjalanan, dan orang yang paling sigap melayani kebutuhan rombongan. Di sebelahnya, Ustadz Daud sedang sibuk membolak-balik kitab Sirah Nabawiyah, sementara Ustadz Ahmad yang duduk di belakang mereka tampak asyik mengabadikan pemandangan gurun yang mulai berganti menjadi tebing batu cadas melalui lensa kameranya.
"Patih," panggil Kiyai Husin lembut dari kursi tengah.
"Dalem, Kyai?" Patih Ijal segera menoleh, sigap.
"Pastikan jamaah tidak ada yang mabuk darat. Jalur Al-Hada ini indahnya menipu. Cantik, tapi memutar perut," ucap Kyai sambil tersenyum tipis.
Bus mulai mendaki. Jalanan berkelok seperti ular raksasa yang membelit gunung. Di luar jendela, kawanan babun liar tampak duduk santai di pinggir tebing, seolah menyambut tamu yang hendak naik ke "Kota Mawar".
Bagian 1: Aroma Masa Lalu
Sesampainya di gerbang kota Taif, udara berubah drastis. Panas 40 derajat di Makkah berganti menjadi 22 derajat yang sejuk, khas musim gugur bulan Oktober. Langit biru bersih tanpa awan.
Tujuan pertama mereka adalah Kebun Mawar dan Pabrik Parfum Rasyid.
"Taif ini kota yang paradoks," Ustadz Daud membuka suara, menutup kitabnya. Ia berdiri menghadap rombongan saat bus berhenti. "Di sinilah Rasulullah SAW pernah mengalami penolakan paling brutal, dilempari batu hingga berdarah. Tapi, dari tanah yang sama ini pula, Allah tumbuhkan mawar-mawar paling wangi di dunia yang kini menjadi pengharum Ka'bah."
Patih Ijal turun paling dulu, memastikan jalan aman bagi Kiyai Husin. Di kebun mawar, aroma wangi langsung menyeruak. Ustadz Ahmad, dengan jiwa seninya, segera mengajak Ustadz Daud berfoto di antara rumpun mawar yang meski belum puncak panen, sisa-sisanya masih merekah indah.
Namun, Kiyai Husin memisahkan diri. Ia berjalan menuju sebuah sudut kebun yang sepi, menatap ke arah bukit batu di kejauhan. Patih Ijal mengikutinya diam-diam, khawatir sang guru butuh sesuatu.
"Kau tahu apa yang Rasulullah doakan saat Malaikat Penjaga Gunung menawarkan untuk menimpakan dua gunung ini kepada penduduk Taif yang menyakitinya, Ijal?" tanya Kiyai tanpa menoleh.
Patih Ijal merinding. "Tahu, Kyai. Beliau menolak. Beliau justru berdoa agar dari keturunan mereka lahir orang-orang yang menyembah Allah."
Kiyai Husin berbalik, matanya berkaca-kaca. "Itulah kenapa kita di sini. Menghirup udara Taif bukan sekadar wisata. Tapi menghirup bukti kesabaran Nabi. Mawar ini wangi karena 'disiram' doa kesabaran itu."
Bagian 2: Misteri di Masjid Al-Ku'aa
Perjalanan berlanjut ke Masjid Al-Ku'aa, tempat yang diyakini sebagai lokasi Rasulullah berhenti sejenak dan bersandar lelah setelah diusir.
Saat rombongan sedang shalat sunnah, Patih Ijal yang bertugas menjaga sandal dan tas di pelataran melihat seorang kakek tua berpakaian lusuh sedang kesulitan mengangkat keranjang berisi buah delima—buah khas Taif yang sedang musim di bulan Oktober.
Tanpa pikir panjang, Patih Ijal berlari. "Ya Ammi, biarkan saya bantu," ucapnya dalam Bahasa Arab yang patah-patah namun dipahami.
Ia memanggul keranjang berat itu hingga ke mobil pickup tua di seberang jalan. Kakek itu tersenyum lebar, wajahnya yang keriput memancarkan cahaya ketulusan. Sebagai rasa terima kasih, kakek itu memberikan tiga buah delima merah raksasa kepada Ijal.
"Untuk pemimpinmu," kata kakek itu menunjuk ke arah masjid tempat Kiyai Husin baru saja keluar. "Orang yang hatinya tenang, wajahnya bercahaya."
Ketika Patih Ijal kembali dan menceritakan hal itu, Ustadz Ahmad tertawa. "Wah, Patih kita ini memang magnet rezeki. Itu Delima Taif terbaik, harganya mahal kalau di pasar."
Namun Kiyai Husin menatap buah itu dengan tatapan dalam. "Bukan soal harga, Ahmad. Ini soal akhlak. Ijal baru saja mempraktikkan apa yang Nabi ajarkan di kota ini: membalas kesulitan dengan kebaikan. Kakek itu mungkin ujian kecilmu, Jal."
Bagian 3: Kabut di Telefric (Kereta Gantung)
Menjelang sore, mereka menuju stasiun kereta gantung (Telefric) untuk turun kembali ke arah jalan pulang sekaligus menikmati pemandangan matahari terbenam.
Tiba-tiba, cuaca Oktober yang bersahabat berubah. Kabut tebal turun dengan sangat cepat dari puncak Al-Hada, menyelimuti stasiun kereta gantung. Jarak pandang hanya tersisa satu meter. Suasana menjadi mencekam namun magis.
"Semua merapat! Pegang bahu teman di depannya!" teriak Patih Ijal, suaranya tegas memecah kepanikan kecil jamaah lain.
Ustadz Daud dan Ustadz Ahmad sigap mengapit Kiyai Husin. Tapi, ada masalah. Tiket rombongan ada di tas Patih Ijal, dan Ijal terpisah di belakang karena membantu seorang ibu yang panik kehilangan anaknya dalam kabut.
"Ijal mana?!" tanya Ustadz Daud cemas.
Kiyai Husin mengangkat tangan, memberi isyarat tenang. "Dia sedang menjadi 'Patih' yang sebenarnya. Tunggu."
Lima belas menit berlalu, kabut masih tebal. Tiba-tiba, dari balik putihnya kabut, muncul sosok Patih Ijal menggandeng anak kecil yang menangis, membawanya kepada ibunya. Di belakangnya, petugas keamanan stasiun mengikuti.
"Maaf Kyai, Ustadz, tadi ada sedikit drama," kata Ijal sambil menyeka keringat dingin di dahinya. "Tapi Alhamdulillah, anak ini ketemu. Petugas ini berterima kasih dan memberi kita jalur khusus VIP untuk naik kereta gantung duluan agar tidak berdesakan."
Ustadz Ahmad geleng-geleng kepala. "Luar biasa. Di Makkah hilang sandal, di Taif hilang orang, dan kau yang temukan, Patih."
Bagian 4: Penutup di Nasi Mandhi
Malam itu, sebelum kembali ke Makkah, mereka mampir di sebuah restoran tradisional untuk menyantap Nasi Mandhi khas Taif. Daging domba yang dimasak dalam lubang tanah terasa begitu lembut, dipadukan dengan nasi basmati yang kaya rempah.
Di tengah makan malam, Kiyai Husin memotong delima pemberian kakek tadi dan membagikannya kepada Patih Ijal, Ustadz Daud, dan Ustadz Ahmad.
"Hari ini kita belajar banyak," ucap Kiyai Husin.
"Ustadz Daud memberi kita ilmu sejarah," lanjut Kiyai. Ustadz Daud mengangguk takzim. "Ustadz Ahmad mengabadikan keindahan ciptaan Allah." Ustadz Ahmad tersenyum. "Dan Patih Ijal..." Kiyai menatap pemuda itu. "...mengajarkan kita bahwa inti dari perjalanan ke Taif adalah melayani. Sejarah tidak hanya untuk dibaca, dan keindahan tidak hanya untuk difoto, tapi untuk diamalkan."
Patih Ijal menunduk malu, mulutnya penuh dengan butiran delima yang manis dan segar.
Bus kembali melaju menuruni pegunungan yang gelap. Lampu-lampu kota Makkah mulai terlihat di kejauhan seperti hamparan permata. Di dalam bus, hati mereka terasa penuh. Bukan hanya karena perut yang kenyang atau foto yang bagus, tapi karena satu hari di bulan Oktober 2025 itu, mereka menemukan makna persaudaraan di kota yang pernah terluka namun kini berbunga.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar