Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Sabtu, 22 November 2025

Di Bawah Naungan Kubah Hijau

 


Bab 1: Gemuruh di Tanah Haram

Angin November di Madinah al-Munawwarah tidak seperti angin di tempat lain. Ia berhembus pelan, seolah takut membangunkan seseorang yang sedang terlelap. Namun, bagi Patih Ijal, ketenangan itu justru terasa asing.

Pria berusia 35 tahun itu berdiri mematung di pelataran Masjid Nabawi. Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Langit masih gelap pekat, namun cahaya lampu-lampu dari payung raksasa yang masih kuncup membuat marmer putih di bawah kakinya bersinar seperti susu.

Ijal—begitu ia akrab disapa—merasa ada gemuruh di dadanya yang kontras dengan kesunyian kota ini. Ia adalah seorang eksekutif muda di Jakarta yang terbiasa dengan deadline, negosiasi alot, dan deru klakson. Tiba-tiba berada di kota yang ritmenya ditentukan oleh panggilan azan membuat 'mesin' di kepalanya tersendat. Ia merasa kotor. Ia merasa terlalu duniawi untuk tanah sesuci ini.

"Belum bisa tidur, Mas Ijal?"

Suara itu lembut, menyapa dari arah belakang. Ijal menoleh. Sosok pria paruh baya dengan janggut yang mulai memutih tersenyum padanya. Itu Ustad Ahmad, pembimbing rombongan umrah mereka. Wajahnya teduh, seteduh kota ini.

"Eh, Ustad. Iya, Tad. Rasanya... aneh," jawab Ijal jujur. Ia merapatkan jaket tebalnya. "Di Jakarta saya susah tidur karena stres. Di sini, saya susah tidur karena... saya tidak tahu kenapa. Rasanya sayang kalau dipakai tidur."

Ustad Ahmad terkekeh kecil, lalu berdiri di samping Ijal, menatap lurus ke arah Kubah Hijau yang samar-samar terlihat di kejauhan.

"Itu bukan insomnia biasa, Jal. Itu tandanya jiwamu sedang 'bangun'. Madinah itu kota yang hidup. Tanahnya, udaranya, tiang-tiangnya... mereka menyapa siapa saja yang datang dengan hati yang mencari."

Bab 2: Dialog Sang Pecinta

Mereka berdua berjalan perlahan menuju Pintu 21. Langkah kaki jamaah lain mulai terdengar, satu dua orang bergegas mengejar saf depan untuk Qiyamul Lail.

"Tad," Ijal memecah keheningan, "Orang bilang Madinah itu tenang. Tapi kenapa saya merasa gelisah? Saya merasa... malu. Saya merasa dosa saya terlalu banyak untuk bertamu ke rumah Nabi."

Ustad Ahmad berhenti berjalan. Ia menepuk bahu Ijal.

"Patih Ijal, dengar. Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengusir siapa pun yang datang dengan cinta, meskipun orang itu pendosa. Madinah ini disebut Al-Munawwarah, yang bercahaya. Fungsinya cahaya itu apa? Untuk menerangi yang gelap. Kalau kamu merasa gelap, berarti kamu berada di tempat yang tepat untuk mencari cahaya."

Ustad Ahmad mengajak Ijal duduk sejenak di pelataran luar, di atas karpet merah yang baru saja digelar petugas kebersihan.

"Kamu tahu kenapa kota ini membuat rindu?" tanya Ustad Ahmad.

Ijal menggeleng.

"Karena di sini, waktu seolah berhenti menghakimi kita. Di dunia luar, kamu dinilai dari seberapa cepat kamu bekerja, seberapa banyak hartamu. Di Madinah, kamu hanya dinilai dari seberapa tulus hatimu menyapa Rasulullah. Ketenangan yang kamu rasakan di udara Madinah ini adalah residu dari akhlak Nabi yang menyerap ke seluruh penjuru kota."

Kalimat itu menohok Ijal. Ia teringat kesombongannya di kantor. Teringat bentakannya pada bawahan. Di sini, di hadapan kemegahan Nabawi yang sunyi, ia merasa sekecil debu.

Bab 3: Raudhah dan Air Mata

Hari ketiga, jadwal masuk ke Raudhah—taman surga.

Antrean berdesak-desakan. Ijal yang bertubuh besar biasanya mudah menyikut jalan, tapi kali ini ia teringat pesan Ustad Ahmad: "Di rumah Nabi, dahulukan adab, bukan otot."

Ijal membiarkan seorang bapak tua lewat lebih dulu. Ia menahan tubuh orang yang mendorong dari belakang agar tidak menjepit anak kecil. Ustad Ahmad memperhatikannya dari jauh dengan senyum simpul.

Saat kakinya menginjak karpet hijau Raudhah, dunia seakan senyap. Hiruk pikuk askar (polisi) yang berteriak "Yallah, Hajj, Tariq!" terdengar samar seperti dengungan lebah.

Ijal mendapatkan celah kecil di belakang tiang. Ia bersujud.

Saat keningnya menyentuh karpet yang wangi kasturi itu, pertahanannya runtuh. Patih Ijal, si manajer tangguh yang jarang menangis, terguncang hebat dalam sujudnya. Ia tidak meminta harta. Ia tidak meminta jabatan.

"Assalamualaika Ya Rasulullah... Aku rindu. Aku lelah dengan duniaku. Izinkan aku menemukan kedamaian-Mu," batinnya menjerit.

Ia merasakan sebuah tangan mengusap punggungnya saat ia bangkit dari sujud. Ustad Ahmad ada di sana, memberinya isyarat untuk segera keluar agar jamaah lain bisa masuk. Tapi tatapan Ustad Ahmad mengatakan segalanya: Kamu sudah menemukannya.

Bab 4: Perpisahan di Baqi

Hari terakhir. Bus sudah menunggu di lobi hotel. Koper-koper sudah tersusun rapi. Namun, Ijal meminta waktu lima menit. Ia berlari kecil menuju pagar pemakaman Baqi.

Matahari pagi menyinari ribuan merpati yang beterbangan di pelataran. Suasana pagi itu begitu syahdu, angin sejuk menerpa wajahnya yang sembab.

Ustad Ahmad menyusulnya, berdiri di sampingnya.

"Berat ya, Jal?" tanya Ustad Ahmad.

Ijal mengangguk, matanya berkaca-kaca menatap menara masjid. "Saya tidak ingin pulang, Tad. Di sini hati saya tenang. Saya takut, begitu sampai Jakarta, ketenangan ini hilang. Saya takut kembali menjadi 'monster' yang sibuk mengejar dunia."

Ustad Ahmad tersenyum bijak. Ia mengeluarkan sebuah tasbih kayu kokka dan memberikannya pada Ijal.

"Patih Ijal, bawa Madinah di dalam hatimu. Madinah bukan hanya koordinat geografis. Madinah adalah state of mind, sebuah keadaan jiwa. Kalau kamu menjaga salatmu, menjaga akhlakmu, dan menjaga sholawatmu, maka kantormu, rumahmu, dan kotamu akan menjadi Madinah kecil bagimu."

Ustad Ahmad menunjuk dada Ijal. "Rindu itu... biarkan dia tetap menyala. Rasa sakit karena rindu itulah yang akan memanggilmu kembali ke sini suatu saat nanti. Itu undangan gaib, Jal."

Epilog: Enam Bulan Kemudian

Jakarta, pukul 17.00. Hujan deras mengguyur kaca jendela kantor di lantai 25.

Suasana rapat sedang memanas. Klien marah-marah, tim Ijal panik. Sebagai pimpinan, Ijal seharusnya ikut tegang atau marah.

Namun, Ijal memejamkan matanya sejenak. Ia menarik napas panjang. Aroma parfum kasturi yang ia beli di toko kecil dekat Pintu 25 Nabawi tercium samar dari pergelangan tangannya.

Tiba-tiba, bisingnya Jakarta lenyap. Ia kembali merasakan dinginnya marmer pelataran saat subuh. Ia melihat bayangan Kubah Hijau. Ia mendengar suara lembut Ustad Ahmad.

Ijal membuka mata. Tatapannya teduh, tidak ada amarah.

"Bapak-bapak, mari kita istirahat sejenak untuk salat Maghrib, lalu kita bahas ini dengan kepala dingin. Solusi pasti ada," ucap Ijal tenang.

Klien yang tadi marah terdiam melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Ijal. Ketenangan yang tidak dibuat-buat.

Di dalam hati, Ijal tersenyum. Rindu itu masih ada. Rindu yang menyakitkan namun indah. Rindu pada ketenangan kota Nabi yang kini ia bawa kemana pun ia pergi.

"Labbaik, Rasulullah. Aku akan kembali," bisiknya dalam hati.



Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)

Tidak ada komentar: