Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Minggu, 23 November 2025

Rindu yang Tertinggal di Pelataran Nabawi

 



Payung Masjid Nabawi yang Mengembang


Angin dini hari di kota Al-Madinah Al-Munawwarah tidak seperti angin di tempat lain di dunia. Ia sejuk, namun tidak menusuk. Ia berhembus pelan, seolah tahu sopan santun karena sedang melewati kota tempat beristirahatnya manusia paling mulia.

Jam menunjukkan pukul 03.00 pagi waktu setempat. Langit masih gelap pekat, namun pelataran Masjid Nabawi sudah berpendar cahaya. Lantai marmer putih yang terbentang luas itu memantulkan cahaya lampu-lampu pilar, menciptakan ilusi seolah-olah kita sedang berjalan di atas cermin raksasa.

Di salah satu sudut pelataran, Patih Ijal duduk bersila. Matanya sembab. Ia baru saja menyelesaikan shalat tahajud di area perluasan masjid. Di sebelahnya, Ustad Ahmad, pembimbing umrahnya yang berusia paruh baya dengan wajah teduh, sedang berdzikir pelan. Tasbih kayu di tangannya berputar dengan irama yang menenangkan.

"Ustad," bisik Ijal, memecah keheningan di antara mereka. Suaranya serak.

Ustad Ahmad menoleh, tersenyum lembut. "Ada apa, Patih? Masih belum bisa tidur?"

"Bukan tidak bisa tidur, Ustad. Tapi rasanya sayang untuk tidur," jawab Ijal. Ia menatap ke arah Kubah Hijau (Green Dome) yang samar-samar terlihat di kejauhan. "Saya merasa... aneh. Di Indonesia, hidup saya bising. Pekerjaan, target, kemacetan, ekspektasi orang lain. Di sini, di Madinah, rasanya seperti ada tombol 'mute' di kepala saya. Hening. Tapi hening yang berisi."

Ustad Ahmad mengangguk, seolah sudah ribuan kali mendengar pengakuan serupa, namun matanya tetap memancarkan empati yang tulus.

"Itulah yang disebut Sakinah, Patih. Ketenangan yang Allah turunkan langsung ke dalam hati," kata Ustad Ahmad. Ia kemudian menunjuk ke arah lampu-lampu minaret yang menjulang tinggi. "Kau tahu kenapa Madinah begitu tenang, berbeda dengan Makkah yang penuh energi dan gairah?"

Ijal menggeleng. "Kenapa, Ustad?"

"Makkah itu Jalal (Keagungan). Di sana kita merasa kecil di hadapan kekuasaan Allah. Tapi Madinah... Madinah itu Jamal (Keindahan). Ini adalah kota yang menerima Rasulullah SAW saat beliau diusir. Ini adalah kota yang penduduknya menyambut Nabi dengan syair Thala'al Badru 'Alaina. Tanah ini, udara ini, merekam jejak kelembutan Rasulullah. Itulah sebabnya, hati yang keras sekalipun akan melembut begitu menginjakkan kaki di sini."

Ijal terdiam. Ia merasakannya. Sejak hari pertama tiba, saat bus memasuki perbatasan kota Haram, dadanya yang biasa sesak oleh kecemasan duniawi tiba-tiba lapang.

"Besok kita akan pulang ke Tanah Air, Patih," ucap Ustad Ahmad pelan, mengingatkan kenyataan yang paling ditakuti Ijal saat ini.

Mendengar itu, ada rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk dada Ijal. "Itu dia masalahnya, Ustad. Saya takut pulang. Saya takut ketenangan ini hilang begitu saya mendarat di bandara soekarno-hatta. Saya takut kembali menjadi Patih Ijal yang pemarah dan gelisah."

Ustad Ahmad mengubah posisi duduknya menghadap Ijal. Ia menepuk pundak pemuda itu.

"Patih, dengarkan saya. Masjid Nabawi bukan hanya bangunan fisik. Ketenangan ini bukan karena marmer dingin atau payung raksasa ini," Ustad Ahmad menunjuk payung-payung ikonik yang saat itu masih kuncup tertutup. "Ketenangan ini ada karena cintamu tersambung kepada Sang Pemilik Makam di sana."

"Rindu itu pasti ada, Patih. Dan itu menyakitkan. Nanti, saat kau sudah di Indonesia, kau akan merindukan wangi karpet masjid ini. Kau akan merindukan suara adzan yang mendayu-dayu dari menara itu. Kau akan merindukan momen berjalan kaki dari hotel menuju masjid saat subuh, berdesakan dengan orang-orang dari Afrika, Turki, India, yang semuanya bersaudara."

Ijal menunduk, air matanya menetes di atas marmer putih. "Lalu bagaimana saya mengobatinya nanti, Ustad?"

"Jangan diobati," jawab Ustad Ahmad tegas namun halus. "Peliharalah rindu itu. Biarkan rindu pada Nabawi menjadi bahan bakarmu. Saat kau lelah bekerja, ingatlah ketenangan Madinah. Saat kau ingin marah, ingatlah kelembutan kota ini. Bawa 'Madinah'-mu pulang ke rumah. Jadikan hatimu selembut Madinah bagi orang-orang di sekitarmu."

Suara adzan pertama (sebelum Subuh) tiba-tiba berkumandang. Syahdu, melengking membelah langit malam. Orang-orang yang tadinya tertidur di pelataran mulai bangun. Beberapa bergegas mengambil air zam-zam dari tong-tong berwarna krem.

Ijal menghapus air matanya. Ia menarik napas panjang, menghirup aroma khas Madinah—campuran antara udara gurun yang dingin dan wangi kasturi yang entah datang dari mana.

"Ustad, bolehkah saya meminta satu hal?" tanya Ijal.

"Apa itu?"

"Doakan saya bisa kembali lagi ke sini. Bersama keluarga saya."

Ustad Ahmad tersenyum lebar. "Allah tidak memanggil orang yang mampu, Patih. Tapi Allah memampukan orang yang terpanggil. Jika rindumu jujur, jarak ribuan kilometer hanyalah angka. Insya Allah, Patih. Insya Allah kita akan sujud lagi di sini."

Matahari pagi itu belum terbit, tapi bagi Patih Ijal, cahaya sudah terang benderang di hatinya. Di sisa waktu sebelum kepulangan, ia berjanji akan merekam setiap detiknya. Suara gesekan sandal di lantai, sapaan "Assalamualaikum" dari orang asing, dan kemegahan payung-payung raksasa yang perlahan mulai mekar menyambut pagi.

Madinah bukan sekadar kota tujuan wisata religi. Bagi Patih Ijal, Madinah adalah tempat di mana ia menemukan kembali kepingan jiwanya yang hilang. Dan meski raga harus pulang, separuh hatinya telah ia ikhlaskan tertinggal di sana, di bawah naungan Kubah Hijau, menunggu untuk dijemput kembali suatu hari nanti.


 

Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)

Tidak ada komentar: