Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Senin, 24 November 2025

Tangis di Atas Karpet Hijau

 

Madinah:


Masuk ke Raudhah (Taman Surga)



Berikut kelanjutan kicak kerinduan Patih Ijal sebelum ia benar-benar harus psahnya.

Bagian 2: Tangis di Atas Karpet Hijau

Malam terakhir di Madinah. Ustad Ahmad mengajak Patih Ijal untuk mencoba masuk ke Raudhah sekali lagi sebelum kepulangan mereka.

"Ijal, rapatkan barisan. Jangan sampai terpisah. Ingat, sabar. Di sana nanti kita akan berdesakan," instruksi Ustad Ahmad saat mereka mengantre di pelataran masjid menuju pintu masuk Raudhah.

Antrean mengular panjang. Ribuan manusia dari berbagai bangsa berkumpul dengan satu tujuan: shalat di area yang disebut Rasulullah sebagai taman surga. Suara askar (petugas keamanan) terdengar tegas mengatur arus jemaah, "Ya Hajj! Tariq, tariq! (Jalan, jalan!)".

Jantung Patih Ijal berdegup kencang. Tubuhnya terhimpit di antara jemaah bertubuh besar dari Turki dan Afrika. Udara terasa panas dan sesak, namun semangat untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Rasulullah mengalahkan segalanya.

"Patih, pegang pundak saya!" seru Ustad Ahmad ketika dorongan dari belakang semakin kuat.

Perlahan namun pasti, mereka bergerak maju. Patih Ijal melihat perubahan warna karpet di lantai. Dari karpet merah yang membentang di seluruh masjid, kini berganti menjadi karpet hijau bermotif bunga.

"Kita sudah sampai, Patih. Ini Raudhah," bisik Ustad Ahmad, suaranya bergetar. "Kau sedang berada di taman surga."

Seketika itu juga, hiruk-pikuk dan desakan fisik seolah lenyap dari indra Patih Ijal. Ia melangkah masuk ke area karpet hijau itu dengan kaki gemetar. Wangi gaharu dan kasturi yang sangat kuat menyeruak, aroma khas yang hanya ada di titik ini di seluruh dunia.

Di sebelah kirinya, terlihat makam Rasulullah SAW yang dibatasi jeruji emas nan megah.

Patih Ijal tak kuasa menahan diri. Ia langsung menjatuhkan dirinya, bersujud di atas karpet hijau itu.

Dalam sujudnya, dunia seakan berhenti berputar. Tidak ada lagi jabatan 'Patih', tidak ada lagi urusan pekerjaan, tidak ada lagi ego. Yang ada hanyalah seorang hamba yang kotor, yang sedang bertamu ke rumah Kekasih Allah.

"Assalamu’alaika Ya Rasulullah... Assalamu’alaika Ya Habiballah..." lirih hati Ijal bergetar hebat.

Air matanya tumpah ruah membasahi sajadah. Ia teringat semua dosa-dosanya. Ia malu. Bagaimana mungkin tanah yang pernah dipijak manusia suci ini, kini dipijak oleh kakinya yang penuh dosa? Namun, di saat yang sama, ia merasakan penerimaan yang hangat. Seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang mengusap kepalanya, mengatakan bahwa ia diterima. Bahwa ia dimaafkan.

Ia berdoa panjang, bukan meminta harta atau jabatan.

"Ya Allah, jangan jadikan ini kunjungan terakhirku. Izinkan aku merindukan tempat ini seumur hidupku, dan izinkan kerinduan itu membawaku kembali."

Ustad Ahmad, yang berada tak jauh darinya, juga terlihat sedang menengadahkan tangan dengan wajah basah oleh air mata. Di Raudhah, semua laki-laki menjadi cengeng. Semua topeng kegagahan runtuh.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, askar mulai meminta jemaah untuk bergantian. "Yallah, Hajj, shalli..." (Ayo Pak Haji, shalat/selesai).

Patih Ijal bangkit dengan berat hati. Ia berjalan mundur perlahan, matanya tak mau lepas menatap ke arah makam Nabi, melambaikan tangan dengan rasa hormat yang mendalam.

Mereka berdua berjalan keluar menuju pelataran masjid yang kini mulai terang oleh cahaya fajar. Udara pagi Madinah menyambut mereka kembali.

Patih Ijal menarik napas panjang. Anehnya, rasa sesak dan takut pulang yang ia rasakan sebelumnya telah hilang. Dadanya kini terasa sangat lapang dan ringan.

"Bagaimana rasanya, Patih?" tanya Ustad Ahmad sambil merapikan pecinya.

Patih Ijal menoleh, wajahnya sembab tapi dihiasi senyum yang sangat tulus. "Lega, Ustad. Rasanya seperti beban berton-ton di pundak saya diangkat begitu saja. Saya merasa... siap."

"Siap untuk apa?"

"Siap untuk pulang. Siap untuk rindu," jawab Ijal mantap. "Tadi di dalam sana, saya sadar. Fisik saya boleh pulang ke Indonesia, tapi hati saya saya titipkan di sini. Jadi, saya punya alasan kuat untuk kembali mengambilnya suatu hari nanti."

Ustad Ahmad tertawa kecil, menepuk punggung Ijal. "Itulah oleh-oleh umrah yang sesungguhnya, Patih. Bukan kurma ajwa, bukan air zam-zam, tapi hati yang tertaut pada Masjid ini."

Di kejauhan, payung-payung raksasa Masjid Nabawi mulai perlahan mekar, seolah mengucapkan selamat jalan kepada mereka berdua. Patih Ijal melangkah meninggalkan pelataran dengan langkah pasti, membawa bekal ketenangan Madinah untuk menghadapi riuhnya dunia di tanah air.

Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)

Tidak ada komentar: