Welcome

<< Mulai dengan cerita yang menarik>> << SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA >>

Sabtu, 05 April 2025

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai [BERSAMBUNG KE SESI 15]

Mentari pagi di Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Embun masih tampak berkilauan di dedaunan hijau yang rimbun, menciptakan suasana yang syahdu dan menenangkan. Kang Ijal, bersama tim kecilnya, telah tiba di sebuah surau tua yang terletak di kaki air terjun yang terkenal itu. Suara gemericik air menjadi melodi latar yang menenangkan hati.

Setelah menunaikan salat Subuh berjamaah bersama beberapa warga setempat, Kang Ijal duduk bersila di serambi surau. Udara pagi yang segar membuatnya merasa lebih bersemangat. Tujuan mereka kali ini adalah untuk menjalin silaturahmi dengan komunitas pengrajin tenun tradisional yang tinggal di sekitar lembah. Kang Ijal mendengar bahwa Ramadan ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka karena permintaan pasar yang sedikit menurun.

"Assalamualaikum, Bapak-bapak, Ibu-ibu," sapa Kang Ijal dengan senyum ramahnya kepada beberapa orang yang mulai berkumpul di serambi.

"Waalaikumsalam, Kang Ijal," jawab mereka serempak, wajah mereka menunjukkan kebahagiaan atas kedatangan Kang Ijal.

Setelah berbincang-bincang sejenak, Kang Ijal menyampaikan maksud kedatangannya. Ia tidak hanya membawa sedikit bantuan berupa bahan makanan pokok untuk berbuka dan sahur, tetapi juga ingin belajar lebih dalam tentang tradisi menenun di Lembah Anai. Kang Ijal percaya bahwa mendukung dan melestarikan kearifan lokal adalah bagian penting dari keberkahan Ramadan.

Salah seorang pengrajin senior, seorang ibu paruh baya bernama Mak Siti, menyambut baik inisiatif Kang Ijal. Dengan penuh semangat, Mak Siti mengajak Kang Ijal dan timnya untuk melihat langsung proses pembuatan kain tenun di rumahnya yang sederhana.

Di dalam rumah Mak Siti, tampak beberapa alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Jemari Mak Siti dan beberapa perempuan lainnya terlihat lincah memainkan benang-benang warna-warni, menciptakan motif-motif indah yang sarat akan makna. Kang Ijal terpesona melihat keahlian dan ketelatenan mereka.

"Setiap motif ini punya cerita tersendiri, Kang," jelas Mak Siti sambil menunjukkan selembar kain tenun dengan motif pucuk rebung. "Motif ini melambangkan pertumbuhan dan harapan."

Kang Ijal mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan Mak Siti. Ia menyadari bahwa di balik keindahan kain tenun ini, tersimpan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Ia pun tergerak untuk membantu mempromosikan hasil karya para pengrajin ini agar bisa dikenal lebih luas.

"Kami sangat berterima kasih atas perhatian Kang Ijal," ujar seorang pengrajin muda bernama Rina. "Semoga Ramadan ini membawa berkah bagi kita semua."

Kang Ijal tersenyum tulus. "Justru saya yang merasa beruntung bisa belajar banyak dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Semangat gotong royong dan keindahan budaya di Lembah Anai ini sungguh luar biasa."

Siang harinya, Kang Ijal dan timnya membantu para pengrajin mengemas beberapa helai kain tenun yang sudah selesai dibuat. Mereka juga berdiskusi tentang strategi pemasaran yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penjualan. Kang Ijal berjanji akan memanfaatkan jaringan yang dimilikinya untuk membantu mempromosikan produk tenun Lembah Anai.

Menjelang waktu berbuka, Kang Ijal dan para pengrajin berkumpul kembali di surau. Mereka berbagi hidangan sederhana namun penuh kehangatan. Suasana kebersamaan terasa begitu kental, seolah mereka telah saling mengenal sejak lama.

Di tengah lantunan azan Maghrib, Kang Ijal merasakan kedamaian yang mendalam. Ramadan di Lembah Anai telah memberikannya pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga silaturahmi, menghargai kearifan lokal, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Jejak keberkahan Ramadan kembali terukir di Bumi Andalas, menyulam silaturahmi di lembah yang indah ini. (end) 




Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai [BERSAMBUNG KE SESI 14]

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai [BERSAMBUNG KE SESI 14]

Mentari pagi merayap lembut di antara pepohonan rindang Lembah Anai. Kabut tipis masih enggan beranjak sepenuhnya, menciptakan suasana syahdu dan damai. Kang Ijal, setelah semalam beristirahat di sebuah surau kecil di kaki air terjun yang megah, sudah terlihat bersemangat. Senyum khasnya merekah saat menyapa beberapa warga yang mulai beraktivitas.

"Assalamualaikum, Bapak-bapak, Ibu-ibu," sapa Kang Ijal ramah.

"Waalaikumsalam, Kang Ijal. Wah, sudah segar kembali kelihatannya," jawab seorang bapak paruh baya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, Pak. Udara di sini sungguh menyegarkan. Terima kasih atas keramahannya semalam," balas Kang Ijal.

Pagi itu, Kang Ijal berencana untuk mengunjungi sebuah komunitas pengrajin tenun di salah satu nagari di sekitar Lembah Anai. Ia mendengar bahwa komunitas tersebut sedang mengalami kesulitan pemasaran akibat pandemi. Sebagai bagian dari ekspedisi Ramadannya, Kang Ijal ingin memberikan dukungan dan mencoba menjembatani mereka dengan potensi pasar yang lebih luas.

Setelah menikmati sarapan sederhana berupa nasi hangat dan sambal lado yang pedasnya menggigit, Kang Ijal diantar oleh seorang pemuda setempat menuju lokasi komunitas pengrajin tenun. Perjalanan menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok menyajikan pemandangan alam yang luar biasa. Tebing-tebing curam yang diselimuti hijaunya pepohonan, suara gemericik air sungai yang jernih, dan sesekali terdengar kicauan burung yang merdu.

Sesampainya di sebuah rumah gadang yang tampak asri, Kang Ijal disambut hangat oleh beberapa ibu-ibu pengrajin tenun. Mereka tampak antusias menyambut kedatangan Kang Ijal, yang sebelumnya sudah mengabarkan niat baiknya melalui telepon.

"Selamat datang, Kang Ijal. Kami sangat senang Kang Ijal bersedia datang ke tempat kami," ujar seorang ibu yang tampak menjadi ketua kelompok pengrajin.

"Terima kasih banyak atas sambutan hangatnya, Ibu. Saya yang merasa terhormat bisa berkunjung ke sini dan melihat langsung keindahan hasil karya Ibu-ibu," balas Kang Ijal dengan tulus.

Kang Ijal kemudian diajak melihat berbagai macam kain tenun yang dihasilkan oleh komunitas tersebut. Motifnya beragam, mulai dari motif tradisional Minangkabau yang kaya akan filosofi hingga motif-motif kontemporer yang lebih modern. Warna-warnanya pun begitu indah dan memukau.

Sambil mengamati kain-kain tenun yang indah itu, Kang Ijal berbincang-bincang dengan para pengrajin. Mereka menceritakan suka duka dalam mempertahankan tradisi menenun ini, terutama tantangan dalam memasarkan produk mereka.

"Dulu, sebelum pandemi, banyak wisatawan yang datang ke sini dan membeli kain tenun kami sebagai oleh-oleh. Tapi sekarang, sepi sekali, Kang," keluh seorang ibu dengan nada sedih.

Mendengar keluhan tersebut, Kang Ijal tergerak hatinya. Ia pun mulai memutar otak mencari solusi. Sebagai seseorang yang memiliki jaringan luas di berbagai bidang, Kang Ijal yakin bisa membantu para pengrajin ini.

"Ibu-ibu jangan berkecil hati. Insya Allah, ada jalan keluarnya. Saya akan coba bantu promosikan kain-kain tenun ini melalui media sosial dan jaringan yang saya miliki. Mungkin kita juga bisa bekerja sama dengan beberapa toko oleh-oleh atau platform e-commerce," ujar Kang Ijal dengan penuh semangat.

Mendengar tawaran Kang Ijal, wajah para ibu-ibu pengrajin tenun kembali cerah. Harapan baru seolah menyala di mata mereka. Mereka sangat berterima kasih atas perhatian dan kepedulian Kang Ijal.

Sebelum berpamitan, Kang Ijal membeli beberapa helai kain tenun sebagai bentuk dukungan nyata. Ia juga memberikan sedikit bantuan dana untuk membantu operasional komunitas pengrajin tenun tersebut.

"Semoga bantuan ini bisa sedikit meringankan beban Ibu-ibu. Yang terpenting, tetap semangat dan terus berkarya. Keindahan kain tenun ini adalah warisan yang tak ternilai harganya," pesan Kang Ijal.

"Terima kasih banyak, Kang Ijal. Kebaikan Kang Ijal tidak akan pernah kami lupakan. Semoga Allah membalas semua kebaikan Kang Ijal," ucap salah seorang ibu dengan mata berkaca-kaca.

Kang Ijal tersenyum tulus. Baginya, melihat senyum bahagia di wajah orang lain adalah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Meninggalkan komunitas pengrajin tenun dengan hati yang penuh syukur, Kang Ijal melanjutkan perjalanannya di Lembah Anai. Ia yakin, jejak keberkahan Ramadan akan terus menyertainya dalam menyulam silaturahmi di bumi Andalas ini.




Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Jumat, 04 April 2025

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai [BERSAMBUNG KE SESI 13]

 Mentari pagi memeluk lembut Lembah Anai. Kabut tipis masih menari di antara hijaunya pepohonan yang menjulang, menciptakan pemandangan yang sungguh memukau. Kang Ijal menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar yang bercampur aroma tanah basah dan dedaunan. Setelah semalam beristirahat di sebuah surau kecil di kaki bukit, semangatnya kembali membara untuk melanjutkan perjalanan.

Tujuan Kang Ijal pagi ini adalah sebuah nagari kecil yang terletak di jantung Lembah Anai. Ia mendengar cerita tentang kegigihan warganya dalam menjaga tradisi dan semangat gotong royong yang masih kental. Sebuah masjid tua menjadi pusat kegiatan masyarakat, dan Kang Ijal ingin sekali melihat lebih dekat bagaimana nilai-nilai Ramadan dihayati di tempat yang indah ini.

Dengan mengendarai motor trail kesayangannya, Kang Ijal menyusuri jalanan yang berkelok-kelok mengikuti aliran sungai yang jernih. Sesekali ia berhenti untuk menikmati keindahan air terjun yang mempesona, merasakan percikan airnya yang menyegarkan. Lembah Anai memang menyimpan pesona alam yang luar biasa, sebuah anugerah dari Sang Pencipta yang patut disyukuri.

Setibanya di nagari yang dituju, Kang Ijal disambut dengan senyum ramah oleh beberapa pemuda yang sedang bergotong royong membersihkan halaman masjid. Mereka tampak terkejut sekaligus senang melihat kedatangan seorang musafir dengan perawakan khas Kang Ijal.

"Assalamualaikum, Uda," sapa Kang Ijal dengan sopan.

"Waalaikumsalam, Uda. Silakan, Uda," jawab salah seorang pemuda sambil menjabat tangan Kang Ijal. "Kami sedang bersiap untuk menyambut waktu zuhur."

Kang Ijal memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangannya. Ia ingin belajar tentang bagaimana masyarakat di Lembah Anai memaknai Ramadan dan mempererat tali silaturahmi. Para pemuda itu dengan senang hati menerima Kang Ijal dan mengajaknya berkeliling melihat masjid tua yang menjadi kebanggaan nagari mereka.

Masjid itu tampak sederhana namun kokoh, dengan arsitektur tradisional Minangkabau yang khas. Di dalamnya, Kang Ijal melihat beberapa orang tua sedang membaca Al-Quran dengan khusyuk. Suasana tenang dan damai terasa begitu kuat di tempat ini.

Setelah berbincang-bincang sejenak, Kang Ijal diajak untuk menikmati hidangan sederhana yang telah disiapkan oleh warga. Ada nasi hangat, gulai ayam kampung, dan sambal lado yang menggugah selera. Kang Ijal merasa terharu dengan keramahan dan kehangatan penerimaan masyarakat di nagari ini.

Sambil menikmati hidangan, Kang Ijal bertanya tentang tradisi Ramadan yang ada di nagari tersebut. Salah seorang tetua kampung menjelaskan bahwa setiap sore menjelang berbuka, warga berkumpul di masjid untuk mendengarkan tausiyah dan berbagi takjil. Setelah salat Tarawih, mereka juga sering mengadakan tadarus Al-Quran secara bersama-sama.

"Semangat kebersamaan dan gotong royong inilah yang kami jaga sejak dulu, Uda," ujar tetua kampung itu dengan bijak. "Ramadan bagi kami bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang mempererat tali persaudaraan dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama."

Kang Ijal mengangguk-angguk setuju. Ia merasakan sendiri bagaimana nilai-nilai luhur Ramadan masih begitu kuat mengakar di Lembah Anai. Keindahan alamnya seolah berpadu harmonis dengan keindahan hati masyarakatnya.

Sebelum berpamitan, Kang Ijal menyempatkan diri untuk memberikan sedikit bantuan berupa beberapa paket kurma dan perlengkapan salat untuk masjid. Ia berharap bantuannya ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan.

"Terima kasih banyak, Uda," ucap salah seorang pemuda dengan tulus. "Semoga perjalanan Uda senantiasa dilindungi oleh Allah SWT."

Kang Ijal tersenyum. Ia merasa bersyukur telah diberi kesempatan untuk mengunjungi Lembah Anai dan bertemu dengan orang-orang yang begitu baik hati. Jejak keberkahan Ramadan kembali ia temukan di tempat ini, sebuah pengingat bahwa kebaikan dan persaudaraan dapat ditemukan di mana saja, bahkan di lembah yang tersembunyi sekalipun.

Perjalanan Kang Ijal di Bumi Andalas masih panjang. Ia akan terus menyusuri jejak-jejak keberkahan Ramadan, menyulam silaturahmi, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Ke mana lagi Kang Ijal akan melanjutkan ekspedisinya?




Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai [BERSAMBUNG KE SESI 12]

 Mentari pagi Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Embun masih tampak berkilauan di dedaunan hijau yang rimbun, menciptakan suasana syahdu dan menenangkan. Setelah semalam beristirahat di sebuah surau sederhana yang disambut dengan hangat oleh warga setempat, Kang Ijal terbangun dengan semangat baru.

Suara kokok ayam dan lantunan ayat suci Al-Quran dari masjid terdekat menjadi alarm alaminya. Ia segera bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah shalat Subuh berjamaah bersama beberapa warga. Usai shalat, Kang Ijal tak langsung beranjak. Ia duduk bersila, berbincang santai dengan seorang sesepuh kampung bernama Pak Malin.

"Bagaimana tidurnya, Nak Ijal?" tanya Pak Malin dengan senyum ramahnya. Kerutan di wajahnya menambah kesan bijaksana.

"Alhamdulillah, nyenyak sekali, Pak Malin. Udara di sini sejuk dan menenangkan," jawab Kang Ijal, merasakan kedamaian yang sulit ia temui di hiruk pikuk perkotaan.

"Syukurlah. Kami senang bisa menjamu tamu sebaik kamu di bulan yang penuh berkah ini," timpal Pak Malin. "Ada rencana apa hari ini, Nak Ijal?"

Kang Ijal tersenyum. "Rencananya, saya ingin membantu sedikit di dapur umum surau ini, Pak Malin. Semalam saya lihat ibu-ibu sedang menyiapkan bahan untuk berbuka puasa. Sekalian saya ingin belajar masakan khas Lembah Anai."

Pak Malin tertawa kecil. "Wah, ide bagus itu. Masakan di sini memang punya cita rasa yang khas. Ibu-ibu pasti senang sekali dibantu."

Benar saja, ketika Kang Ijal menuju dapur umum surau, ia disambut dengan senyum sumringah para ibu. Aroma rempah-rempah sudah mulai tercium, menggugah selera meski sedang berpuasa. Kang Ijal dengan sigap menawarkan bantuan, mulai dari mengupas bawang, memotong sayuran, hingga mengaduk rendang yang sudah mulai mengeluarkan aroma menggoda.

Sambil bekerja, Kang Ijal tak henti-hentinya bertukar cerita dengan para ibu. Ia belajar tentang berbagai macam bumbu dan teknik memasak khas Minangkabau. Sesekali, mereka bercanda dan tertawa, menciptakan suasana keakraban yang hangat. Kang Ijal merasa seperti berada di tengah keluarga sendiri.

"Nak Ijal ini rajin sekali. Pantas saja banyak orang yang senang dengan kedatanganmu," ujar seorang ibu sambil tersenyum kagum melihat Kang Ijal dengan cekatan mengaduk gulai.

"Ah, saya hanya ingin berbagi sedikit kebahagiaan di bulan Ramadan ini, Ibu. Melihat senyum bahagia di wajah orang lain sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya," jawab Kang Ijal dengan tulus.

Setelah beberapa jam berkutat di dapur, berbagai macam hidangan lezat untuk berbuka puasa telah tersaji. Ada nasi putih hangat, rendang daging sapi yang empuk, gulai ayam yang kaya rempah, sayur nangka yang gurih, serta berbagai macam kue tradisional yang menggugah selera.

Menjelang waktu berbuka, warga mulai berdatangan ke surau. Anak-anak kecil berlarian dengan riang, sementara para orang tua duduk bersila sambil menunggu adzan Maghrib berkumandang. Kang Ijal merasa terharu melihat kebersamaan dan kerukunan yang terjalin di Lembah Anai ini.

Saat suara adzan Maghrib akhirnya terdengar, semua orang serentak menghentikan aktivitas mereka. Mereka membaca doa berbuka puasa dengan khusyuk, lalu mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan bersama-sama. Kang Ijal duduk berdampingan dengan Pak Malin dan beberapa warga lainnya, merasakan nikmatnya berbuka puasa di tengah suasana yang penuh kehangatan dan kekeluargaan.

Selesai berbuka, Kang Ijal kembali berbincang dengan Pak Malin. "Lembah Anai ini indah sekali, Pak Malin. Selain alamnya yang memukau, keramahan warganya juga sangat mengesankan," puji Kang Ijal.

Pak Malin tersenyum bangga. "Alhamdulillah. Kami memang selalu berusaha menjaga tradisi gotong royong dan saling menghormati. Apalagi di bulan Ramadan ini, semangat kebersamaan semakin terasa."

"Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari kebersamaan ini," kata Kang Ijal. "Semoga silaturahmi yang terjalin hari ini bisa terus terjaga dan membawa berkah bagi kita semua."

Malam semakin larut. Setelah menunaikan ibadah shalat Isya dan Tarawih berjamaah, Kang Ijal berpamitan kepada Pak Malin dan warga lainnya untuk beristirahat. Ia merebahkan diri di atas tikar di surau, merasakan kelelahan namun juga kebahagiaan yang tak terhingga.

Di benaknya, ia sudah merencanakan kegiatan untuk esok hari. Ia ingin mengunjungi beberapa rumah warga, berbagi cerita dan sedikit rezeki, serta lebih jauh mengenal kehidupan masyarakat Lembah Anai. Perjalanan Ramadan Kang Ijal di Bumi Andalas masih panjang, dan setiap langkahnya adalah jejak keberkahan yang menyulam silaturahmi.



Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Kamis, 03 April 2025

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai [BERSAMBUNG KE SESI 11]

Mentari pagi di Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Setelah bermalam di sebuah surau sederhana di kaki bukit, Kang Ijal dan timnya sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Udara segar pegunungan membawa aroma embun dan dedaunan, memberikan semangat baru setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan di hari sebelumnya.

"Alhamdulillah, Kang," ujar Ustadz Farhan sambil meregangkan otot-ototnya, "semalam tidurnya nyenyak sekali. Udara sini memang menenangkan."

Kang Ijal tersenyum. "Betul, Ustadz. Semoga energi ini bisa kita manfaatkan untuk menebar lebih banyak kebaikan hari ini."

Tujuan mereka hari ini adalah sebuah desa terpencil di atas lembah yang kabarnya cukup sulit dijangkau. Informasi yang mereka dapatkan dari warga sekitar menyebutkan bahwa di desa tersebut terdapat sebuah komunitas kecil yang sangat membutuhkan uluran tangan, terutama menjelang akhir Ramadan.

Setelah sarapan sederhana dengan nasi dan lauk seadanya yang disiapkan oleh pengurus surau, Kang Ijal dan tim mulai bergerak. Jalan setapak yang mereka lalui semakin menanjak dan berbatu. Sesekali mereka harus menyeberangi sungai kecil dengan air yang jernih dan dingin. Pemandangan di sekitar mereka sungguh memukau. Tebing-tebing curam yang diselimuti hijaunya pepohonan, air terjun yang gemuruh dari kejauhan, semuanya menciptakan harmoni alam yang luar biasa.

Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan seorang ibu tua yang sedang memanggul sekeranjang kayu bakar. Langkahnya terlihat berat, namun semangatnya tetap terpancar dari senyum ramahnya.

"Assalamualaikum, Nek," sapa Kang Ijal dengan sopan.

"Waalaikumsalam, Nak," jawab nenek itu sambil berhenti sejenak.

Kang Ijal dan timnya ikut berhenti. Mereka berbincang sejenak dengan nenek tersebut, menanyakan kabarnya dan kondisi desa di atas lembah. Nenek itu bercerita tentang kesulitan hidup mereka, terutama saat bulan puasa seperti ini.

"Kami di sini kadang kesulitan mendapatkan bahan makanan, Nak. Apalagi harga-harga sekarang semakin mahal," keluhnya dengan nada sedih.

Mendengar cerita itu, hati Kang Ijal tergerak. Ia teringat akan tujuan utama ekspedisinya, yaitu untuk berbagi dan meringankan beban sesama, terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.

"Insya Allah, Nek, kami akan berusaha membantu sebisa kami. Kami sedang menuju desa di atas sana, semoga kedatangan kami bisa membawa sedikit kebahagiaan," ujar Kang Ijal dengan tulus.

Nenek itu tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Nak. Semoga Allah membalas kebaikan kalian."

Setelah berpamitan dengan nenek tersebut, Kang Ijal dan timnya melanjutkan perjalanan dengan semangat yang lebih membara. Kata-kata nenek itu semakin menguatkan tekad mereka untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas di desa terpencil tersebut.

Setelah beberapa jam berjalan kaki, akhirnya mereka tiba di desa yang dituju. Desa itu tampak sangat sederhana, dengan rumah-rumah kayu yang berjajar rapi di lereng bukit. Sambutan hangat dari para warga, terutama anak-anak kecil yang berlarian menyambut kedatangan mereka, membuat rasa lelah mereka seketika hilang.

Kang Ijal dan timnya segera berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat untuk menyalurkan bantuan yang telah mereka siapkan. Bantuan berupa paket sembako, perlengkapan ibadah, dan sedikit uang tunai disambut dengan rasa syukur dan haru oleh para warga.

Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Kang Ijal. Di tengah desa terdapat sebuah bangunan kecil yang tampak kurang terawat. Setelah bertanya kepada salah seorang warga, ia mendapatkan informasi bahwa bangunan itu adalah satu-satunya masjid di desa tersebut, namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan.

"Masjid ini sudah lama tidak direnovasi, Kang. Kami di sini kesulitan dana," ujar seorang bapak paruh baya dengan nada lesu.

Mendengar hal itu, Kang Ijal kembali merasa terpanggil. Ia melihat ini sebagai kesempatan lain untuk menorehkan jejak keberkahan di bumi Andalas.

"Bagaimana kalau kita coba bantu, Ustadz?" bisik Kang Ijal kepada Ustadz Farhan.

Ustadz Farhan mengangguk setuju. "Tentu, Kang. Ini adalah ladang pahala yang sangat besar."

Kang Ijal kemudian menyampaikan niatnya kepada para tokoh masyarakat dan warga desa. Mereka menyambut usulan tersebut dengan antusias. Malam itu juga, Kang Ijal dan timnya bersama-sama dengan warga desa mulai membersihkan masjid tersebut. Meskipun sederhana, semangat gotong royong dan kebersamaan yang terjalin terasa sangat kuat.

Di bawah rembulan yang bersinar terang, suara tawa anak-anak dan obrolan hangat orang dewasa bercampur dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid yang mulai terlihat lebih bersih dan rapi. Kang Ijal tersenyum. Ia merasa bahwa perjalanan Ramadan kali ini tidak hanya tentang memberikan bantuan materi, tetapi juga tentang menumbuhkan harapan dan mempererat tali persaudaraan.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Kang Ijal mendapatkan sebuah kabar yang membuatnya sedikit terkejut. Salah seorang warga desa bercerita tentang sebuah tradisi unik yang hanya dilakukan di desa mereka saat malam Lailatul Qadar. Tradisi apakah itu? Dan bagaimana Kang Ijal akan terlibat di dalamnya? 


Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas, memasuki Sesi 9: Senandung Sahur di Nagari Singgalang.

 Mentari pagi belum sepenuhnya merekah di ufuk timur Lembah Anai. Kabut tipis masih menari-nari di antara pepohonan rindang, menciptakan suasana syahdu dan damai. Kang Ijal, setelah bermalam di sebuah surau sederhana di kaki air terjun Lembah Anai, sudah terbangun sejak dini hari. Suara kokok ayam dan lantunan ayat suci Al-Qur'an dari masjid terdekat menjadi alarm alaminya.

Selesai menunaikan salat Subuh dan menikmati hidangan sahur sederhana yang disiapkan oleh pengurus surau, Kang Ijal berpamitan. Tujuan selanjutnya adalah Nagari Singgalang, sebuah kawasan yang terkenal dengan keindahan alamnya dan masyarakatnya yang ramah. Informasi dari warga sekitar menyebutkan bahwa di sana terdapat sebuah komunitas yang memiliki tradisi unik dalam membangunkan warga untuk sahur.

Perjalanan menuju Nagari Singgalang ditempuh dengan menyewa sebuah ojek motor. Jalanan yang berkelok-kelok dan naik turun khas pegunungan Andalas menjadi tantangan tersendiri, namun pemandangan yang disuguhkan sungguh memanjakan mata. Hamparan sawah hijau, lembah yang menghijau, dan sesekali terlihat puncak gunung yang gagah menjulang.

Setibanya di Nagari Singgalang, Kang Ijal langsung merasakan kehangatan sambutan dari warga. Seorang tokoh masyarakat setempat, Bapak Malin, menyambutnya dengan senyum lebar dan mempersilakannya untuk beristirahat di rumah gadang miliknya.

Setelah menikmati secangkir kopi panas dan berbincang santai, Kang Ijal menyampaikan maksud kedatangannya. Bapak Malin dengan antusias menceritakan tentang tradisi "Saluang Sahur" yang menjadi kebanggaan nagari mereka.

"Setiap malam selama bulan Ramadan, beberapa pemuda kami berkeliling kampung memainkan saluang, alat musik tradisional Minangkabau. Iramanya yang khas dan merdu menjadi penanda waktu imsak dan membangunkan warga untuk bersahur," jelas Bapak Malin.

Kang Ijal sangat tertarik dengan tradisi ini. Baginya, ini bukan hanya sekadar cara membangunkan sahur, tetapi juga sebuah upaya melestarikan budaya dan mempererat tali silaturahmi antar warga.

Malam harinya, Kang Ijal berkesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan "Saluang Sahur". Bersama beberapa pemuda nagari, ia berjalan kaki menyusuri jalanan kampung yang sepi. Suara saluang yang mendayu-dayu memecah keheningan malam, menciptakan suasana yang magis dan penuh berkah.

Kang Ijal mengamati bagaimana warga satu per satu mulai terbangun dan menyalakan lampu rumah mereka. Beberapa di antaranya bahkan keluar rumah untuk sekadar menyapa dan memberikan senyuman kepada rombongan "Saluang Sahur".

Di tengah perjalanan, mereka berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sepi. Salah seorang pemuda dengan ramah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak lama kemudian, seorang ibu paruh baya membuka pintu dengan wajah terkejut namun senang.

"Alhamdulillah, terima kasih sudah diingatkan untuk sahur, Nak," ucap ibu tersebut dengan haru.

Kang Ijal tersentuh melihat momen ini. Ia menyadari betapa sederhana namun bermakna tradisi "Saluang Sahur" ini bagi masyarakat Nagari Singgalang. Bukan hanya sekadar membangunkan untuk makan, tetapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan kepedulian antar sesama.

Setelah berkeliling kampung dan menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid nagari, Kang Ijal kembali ke rumah gadang Bapak Malin. Ia merasa sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari tradisi yang indah ini.

"Tradisi 'Saluang Sahur' ini benar-benar luar biasa, Pak Malin. Ini adalah wujud nyata dari jejak keberkahan Ramadan yang menyentuh hati," ujar Kang Ijal dengan mata berbinar.

Bapak Malin tersenyum bangga. "Kami berharap tradisi ini akan terus lestari dan menjadi pengingat bagi generasi muda tentang pentingnya menjaga warisan budaya dan mempererat silaturahmi."

Kang Ijal mengangguk setuju. Pengalamannya di Nagari Singgalang dengan tradisi "Saluang Sahur" telah menambah catatan indah dalam ekspedisi Ramadannya. Ia semakin yakin bahwa di setiap sudut Bumi Andalas ini tersimpan kearifan lokal dan jejak keberkahan yang patut untuk disyukuri dan dilestarikan.



Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)


Rabu, 02 April 2025

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas, Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai

Mentari pagi di Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Setelah bermalam di sebuah surau sederhana di kaki bukit, Kang Ijal dan timnya sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Udara segar pegunungan bercampur aroma embun dan dedaunan memberikan energi baru. Tujuan mereka hari ini adalah sebuah nagari terpencil yang kabarnya menyimpan cerita unik tentang tradisi Ramadan.

"Bismillah," ucap Kang Ijal sambil mengencangkan tas ranselnya. "Semoga hari ini kita kembali menemukan jejak keberkahan dan mempererat tali silaturahmi."

Perjalanan menuju nagari tersebut tidaklah mudah. Mereka harus melewati jalan setapak yang berkelok-kelok, menyeberangi sungai kecil dengan air yang jernih, dan mendaki beberapa tanjakan yang cukup curam. Namun, pemandangan alam Lembah Anai yang memukau dengan air terjun yang menari-nari di kejauhan, tebing-tebing hijau yang menjulang tinggi, dan pepohonan rindang yang meneduhkan, membuat lelah mereka seolah terbayar lunas.

Sesampainya di nagari yang dituju, Kang Ijal disambut dengan senyum ramah oleh beberapa tetua adat dan warga setempat. Mereka tampak antusias dengan kedatangan tim Ekspedisi Ramadan ini. Setelah beristirahat sejenak dan menikmati hidangan sederhana yang disuguhkan, Kang Ijal mulai berinteraksi dengan warga.

"Kami mendengar di nagari ini ada tradisi unik saat Ramadan," kata Kang Ijal membuka percakapan dengan seorang kakek yang duduk di bale-bale depan rumahnya.

Sang kakek tersenyum bijak. "Benar, Nak Ijal. Di sini, kami punya tradisi 'Malapeh Juadah' setiap menjelang berbuka puasa."

Kang Ijal dan timnya tampak tertarik. "Malapeh Juadah? Apa itu, Kek?"

"Malapeh Juadah itu artinya 'melepas hidangan'," jelas sang kakek. "Setiap sore menjelang azan Magrib, seluruh warga akan membawa makanan atau minuman lebih dari rumah masing-masing. Kemudian, semua hidangan itu dikumpulkan di masjid atau surau. Siapa saja boleh mengambil hidangan tersebut untuk berbuka puasa, tanpa memandang status atau dari mana asalnya."

Kang Ijal terkesima mendengar cerita tersebut. Tradisi Malapeh Juadah ini benar-benar mencerminkan semangat berbagi dan kebersamaan yang sangat kuat di bulan Ramadan. Ia melihat bagaimana tradisi ini tidak hanya memudahkan warga yang mungkin tidak memiliki cukup makanan untuk berbuka, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi yang indah.

Sore itu, Kang Ijal dan timnya ikut menyaksikan langsung tradisi Malapeh Juadah. Mereka melihat bagaimana warga dengan sukarela membawa berbagai macam hidangan, mulai dari nasi dan lauk pauk sederhana, hingga kue-kue tradisional dan minuman segar. Suasana di sekitar masjid terasa hangat dan penuh kekeluargaan.

Kang Ijal bahkan ikut menyumbangkan beberapa bingkisan berisi kurma dan makanan ringan untuk menambah keberkahan tradisi tersebut. Ia berbincang dengan beberapa warga yang mengambil hidangan untuk berbuka, mendengarkan cerita mereka, dan merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka.

Saat azan Magrib berkumandang, seluruh warga bersama-sama menikmati hidangan Malapeh Juadah. Kang Ijal merasakan kehangatan silaturahmi yang begitu erat terjalin di antara mereka. Tradisi ini benar-benar menjadi jejak keberkahan Ramadan yang sangat berharga di Lembah Anai.

"Sungguh luar biasa tradisi ini, Kek," kata Kang Ijal kepada kakek yang sebelumnya bercerita. "Semoga tradisi Malapeh Juadah ini terus lestari dan menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu berbagi dan mempererat tali persaudaraan."

Sang kakek mengangguk setuju. "Semoga begitu, Nak Ijal. Karena di bulan Ramadan yang penuh berkah ini, berbagi dan bersilaturahmi adalah kunci kebahagiaan yang sesungguhnya."

Malam harinya, setelah melaksanakan salat Tarawih berjamaah bersama warga, Kang Ijal dan timnya berpamitan. Mereka membawa pulang cerita yang sangat berkesan tentang tradisi Malapeh Juadah di nagari terpencil Lembah Anai. Sebuah tradisi sederhana yang mengajarkan tentang indahnya berbagi dan kuatnya ikatan persaudaraan di bulan Ramadan.

Perjalanan Ekspedisi Ramadan Kang Ijal masih akan berlanjut. Jejak keberkahan dan keindahan silaturahmi di Bumi Andalas masih banyak yang perlu mereka temukan. Ke mana lagi Kang Ijal dan timnya akan melanjutkan perjalanan? Nantikan kelanjutannya di sesi berikutnya!

[BERSAMBUNG KE SESI 9]

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal: Jejak Keberkahan di Bumi Andalas - Sesi 7

Menyulam Silaturahmi di Lembah Anai

Mentari pagi di hari ke-17 Ramadan menyapa Kang Ijal dengan hangatnya. Setelah menunaikan ibadah subuh di sebuah musala sederhana di pinggir jalan, perjalanan Kang Ijal kali ini membawanya menyusuri kelok-kelok jalan yang membelah Lembah Anai. Udara segar pegunungan bercampur aroma embun pagi menciptakan kedamaian yang menenangkan hati.

Tujuan Kang Ijal kali ini adalah sebuah nagari kecil yang terkenal dengan kerajinan tenunnya. Informasi yang ia dapat dari seorang tokoh masyarakat di sesi sebelumnya menyebutkan bahwa di nagari ini, semangat gotong royong dan kebersamaan di bulan Ramadan masih sangat kental terasa. Kang Ijal penasaran dan ingin menyaksikan langsung jejak keberkahan yang tersembunyi di balik tradisi tersebut.

Setelah beberapa jam berkendara, Kang Ijal akhirnya tiba di nagari yang dimaksud. Rumah-rumah gadang berjejer rapi di antara hamparan sawah yang menghijau. Suara alat tenun yang beradu terdengar sayup-sayup, menambah syahdu suasana pagi itu.

Kang Ijal memarkirkan motornya di dekat sebuah warung kopi sederhana. Sambil menikmati secangkir kopi panas dan goreng pisang, ia mulai berbincang dengan pemilik warung, seorang ibu paruh baya yang ramah.

"Assalamualaikum, Ibu," sapa Kang Ijal dengan senyum.

"Waalaikumsalam, Nak Ijal. Dari mana ini?" jawab Ibu pemilik warung sambil mengelap meja.

"Saya sedang dalam perjalanan mencari jejak keberkahan Ramadan di Bumi Andalas ini, Bu. Kabarnya, di nagari ini semangat kebersamaannya masih sangat kuat," kata Kang Ijal.

Mata Ibu pemilik warung berbinar. "Oh, benar sekali, Nak. Di sini, kami punya tradisi yang sudah turun temurun, terutama di bulan Ramadan ini. Namanya 'Manyulam Silaturahmi'."

Kang Ijal mengerutkan kening, tertarik dengan istilah tersebut. "Manyulam Silaturahmi? Apa itu, Bu?"

"Begini, Nak. Setiap sore menjelang berbuka, para ibu-ibu di nagari ini akan berkumpul di rumah salah satu warga. Mereka membawa makanan dan minuman dari rumah masing-masing, lalu bersama-sama menyiapkan hidangan berbuka untuk disantap bersama," jelas Ibu pemilik warung dengan antusias.

"Wah, indah sekali tradisi itu, Bu," komentar Kang Ijal.

"Tidak hanya itu, Nak. Biasanya, makanan yang berlebih juga akan dibagikan kepada tetangga atau warga yang membutuhkan. Ini adalah cara kami menjaga tali persaudaraan dan saling berbagi di bulan yang penuh berkah ini," lanjut Ibu pemilik warung.

Kang Ijal merasa terharu mendengar cerita tersebut. Ia pun meminta izin kepada Ibu pemilik warung untuk ikut serta dalam tradisi Manyulam Silaturahmi sore itu. Dengan senang hati, Ibu pemilik warung mengantarkan Kang Ijal ke rumah salah seorang tokoh masyarakat yang menjadi koordinator tradisi tersebut.

Sore harinya, Kang Ijal ikut bergabung dengan puluhan ibu-ibu yang sudah berkumpul di rumah seorang Bundo Kanduang (tokoh perempuan adat). Suasana penuh keakraban dan kehangatan terasa begitu kuat. Mereka saling bercanda, berbagi cerita, dan bahu-membahu menyiapkan berbagai macam hidangan lezat.

Kang Ijal tak hanya ikut membantu menyiapkan makanan, tetapi juga aktif berinteraksi dengan para ibu-ibu. Ia mendengarkan cerita-cerita mereka tentang kehidupan di nagari, tentang suka duka menjalani ibadah puasa, dan tentang pentingnya menjaga tradisi Manyulam Silaturahmi ini.

Saat adzan Maghrib berkumandang, semua orang duduk bersila di atas tikar yang terbentang di ruang tengah rumah gadang. Berbagai macam hidangan tersaji di hadapan mereka, mulai dari nasi, lauk pauk khas Minang, hingga aneka kue tradisional dan minuman segar. Mereka berbuka puasa bersama dengan penuh khidmat dan rasa syukur.

Setelah selesai berbuka, Kang Ijal menyampaikan rasa kagumnya terhadap tradisi Manyulam Silaturahmi ini. "Sungguh luar biasa tradisi ini, Bundo. Ini bukan hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga tentang mempererat tali persaudaraan dan menjaga kebersamaan di tengah-tengah kesibukan hidup," ujar Kang Ijal.

Bundo Kanduang tersenyum bijak. "Benar sekali, Nak Ijal. Di bulan Ramadan ini, kami diajarkan untuk saling berbagi dan peduli terhadap sesama. Tradisi Manyulam Silaturahmi ini adalah salah satu cara kami mengamalkan ajaran tersebut."

Sebelum berpamitan, Kang Ijal menyempatkan diri untuk membantu mengantarkan sebagian makanan kepada beberapa warga yang tidak bisa hadir. Ia merasakan kebahagiaan yang tak ternilai harganya bisa menjadi bagian dari tradisi yang penuh dengan nilai-nilai luhur ini.

Malam harinya, sambil menikmati teh hangat di beranda sebuah surau, Kang Ijal merenungkan pengalamannya hari ini. Ia menyadari bahwa jejak keberkahan Ramadan tidak hanya bisa ditemukan dalam ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dalam amalan-amalan sosial yang tulus dan ikhlas. Tradisi Manyulam Silaturahmi di Lembah Anai ini adalah bukti nyata bahwa semangat kebersamaan dan gotong royong masih menjadi kekuatan utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.

Kang Ijal tersenyum. Perjalanannya masih panjang, dan ia yakin masih banyak lagi jejak keberkahan yang akan ia temukan di Bumi Andalas ini. Dengan semangat yang baru, ia siap melanjutkan ekspedisinya esok hari, membawa serta pelajaran berharga tentang indahnya menyulam silaturahmi di bulan Ramadan.

Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)



Selasa, 01 April 2025

Ekspedisi Ramadan Kang Ijal : Jejak Keberkahan di Bumi Andalas - Sesi 6: Menyusuri Sungai Kehidupan Ulu Danau

Mentari pagi di hari ke-16 Ramadan menyapa lembut kawasan Ulu Danau. Kabut tipis masih bergelayut manja di atas permukaan air yang tenang, menciptakan lukisan alam yang syahdu. Di tengah keheningan itu, perahu motor sederhana yang membawa Kang Ijal dan tim kecilnya perlahan membelah air. Tujuan mereka hari ini adalah menyusuri apa yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “Sungai Kehidupan”.

“Sungai ini bukan sekadar aliran air, Kang Ijal,” ujar Pak Wali Nagari yang ikut mendampingi perjalanan. “Bagi kami, ini adalah urat nadi kehidupan. Dari sinilah sumber air untuk minum, mengairi sawah, bahkan menjadi jalur transportasi utama sejak dahulu kala.”

Kang Ijal mengangguk, matanya menyapu pemandangan di sekeliling. Rumah-rumah panggung berjejer di tepian sungai, anak-anak kecil tampak riang bermain di pelataran, dan beberapa ibu terlihat mencuci pakaian di air sungai yang jernih. Suasana Ramadan terasa kental, namun aktivitas kehidupan tetap berjalan dengan ritmenya sendiri.

Perjalanan menyusuri sungai membawa Kang Ijal melewati hamparan sawah yang menghijau, kebun-kebun karet yang tertata rapi, hingga hutan-hutan lebat yang masih terjaga keasriannya. Sesekali, mereka berpapasan dengan perahu-perahu lain yang membawa hasil bumi atau sekadar mengantarkan warga antar kampung.

“Lihatlah, Kang,” Pak Wali menunjuk ke arah seorang nelayan tua yang sedang menjala ikan. “Di bulan Ramadan ini, rezeki dari sungai tetap mengalir. Mereka tetap mencari nafkah untuk keluarga, tentu dengan tetap menjalankan ibadah puasa.”

Kang Ijal tertegun. Di tengah keterbatasan dan tantangan hidup di daerah terpencil, semangat untuk mencari rezeki halal dan menjalankan ibadah Ramadan tetap membara. Ia melihat jejak-jejak keberkahan dalam kesederhanaan dan ketangguhan masyarakat Ulu Danau.

Menjelang waktu zuhur, perahu mereka merapat di sebuah dermaga kecil di dekat masjid tua yang tampak sederhana namun kokoh. Kang Ijal dan timnya ikut melaksanakan salat zuhur berjamaah bersama warga setempat. Lantunan ayat suci Al-Quran yang merdu dari seorang anak kecil menambah kekhusyukan suasana Ramadan di masjid tersebut.

Setelah salat, Kang Ijal berkesempatan berbincang dengan beberapa tokoh masyarakat. Mereka bercerita tentang sejarah sungai yang menjadi saksi bisu perkembangan kampung mereka, tentang tradisi gotong royong yang masih kuat, dan tentang harapan mereka akan masa depan yang lebih baik.

“Kami memang jauh dari kota, Kang,” ujar seorang tetua kampung dengan senyum tulus. “Tapi kami punya kekayaan alam yang melimpah dan semangat persaudaraan yang erat. Itu adalah keberkahan yang tak ternilai harganya.”

Menjelang sore, Kang Ijal dan timnya kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sungai. Cahaya matahari yang mulai meredup memantul indah di permukaan air, menciptakan pemandangan yang semakin memukau. Kang Ijal merenungkan semua yang telah dilihat dan didengarnya hari ini.

“Sungai Kehidupan ini benar-benar menyimpan banyak pelajaran,” gumam Kang Ijal. “Bukan hanya tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan alam untuk bertahan hidup, tapi juga tentang bagaimana mereka menjaga nilai-nilai luhur di tengah kesederhanaan.”

Saat waktu berbuka puasa tiba, Kang Ijal dan timnya diundang untuk menikmati hidangan sederhana namun penuh kehangatan di salah satu rumah warga di tepi sungai. Kebersamaan saat berbuka puasa di tengah keluarga baru ini menjadi momen yang tak terlupakan.

Malam harinya, setelah melaksanakan salat tarawih di masjid tua, Kang Ijal duduk di teras rumah panggung tempatnya menginap. Suara jangkrik dan gemericik air sungai menemani malam Ramadan yang tenang. Ia kembali menuliskan catatan perjalanannya, merangkai kata-kata untuk menggambarkan jejak keberkahan yang telah ditemukannya di sepanjang “Sungai Kehidupan” Ulu Danau.

Ekspedisi Ramadan hari ini telah mengajarkan Kang Ijal tentang arti syukur, kesederhanaan, dan kekuatan komunitas. Di tengah aliran “Sungai Kehidupan” yang tenang, ia menemukan denyut nadi keberkahan yang sesungguhnya, tersembunyi di balik keramahan dan ketangguhan masyarakat Bumi Andalas. Perjalanan ini semakin memantapkan keyakinannya bahwa Ramadan adalah saat yang tepat untuk merenungkan makna hidup dan menemukan jejak-jejak keberkahan di setiap sudut negeri.

Disclaimer :

(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)