Mentari pagi di Lembah Anai menyapa dengan kehangatan yang lembut. Embun masih tampak berkilauan di dedaunan hijau yang rimbun, menciptakan suasana yang syahdu dan menenangkan. Kang Ijal, bersama tim kecilnya, telah tiba di sebuah surau tua yang terletak di kaki air terjun yang terkenal itu. Suara gemericik air menjadi melodi latar yang menenangkan hati.
Setelah menunaikan salat Subuh berjamaah bersama beberapa warga setempat, Kang Ijal duduk bersila di serambi surau. Udara pagi yang segar membuatnya merasa lebih bersemangat. Tujuan mereka kali ini adalah untuk menjalin silaturahmi dengan komunitas pengrajin tenun tradisional yang tinggal di sekitar lembah. Kang Ijal mendengar bahwa Ramadan ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka karena permintaan pasar yang sedikit menurun.
"Assalamualaikum, Bapak-bapak, Ibu-ibu," sapa Kang Ijal dengan senyum ramahnya kepada beberapa orang yang mulai berkumpul di serambi.
"Waalaikumsalam, Kang Ijal," jawab mereka serempak, wajah mereka menunjukkan kebahagiaan atas kedatangan Kang Ijal.
Setelah berbincang-bincang sejenak, Kang Ijal menyampaikan maksud kedatangannya. Ia tidak hanya membawa sedikit bantuan berupa bahan makanan pokok untuk berbuka dan sahur, tetapi juga ingin belajar lebih dalam tentang tradisi menenun di Lembah Anai. Kang Ijal percaya bahwa mendukung dan melestarikan kearifan lokal adalah bagian penting dari keberkahan Ramadan.
Salah seorang pengrajin senior, seorang ibu paruh baya bernama Mak Siti, menyambut baik inisiatif Kang Ijal. Dengan penuh semangat, Mak Siti mengajak Kang Ijal dan timnya untuk melihat langsung proses pembuatan kain tenun di rumahnya yang sederhana.
Di dalam rumah Mak Siti, tampak beberapa alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Jemari Mak Siti dan beberapa perempuan lainnya terlihat lincah memainkan benang-benang warna-warni, menciptakan motif-motif indah yang sarat akan makna. Kang Ijal terpesona melihat keahlian dan ketelatenan mereka.
"Setiap motif ini punya cerita tersendiri, Kang," jelas Mak Siti sambil menunjukkan selembar kain tenun dengan motif pucuk rebung. "Motif ini melambangkan pertumbuhan dan harapan."
Kang Ijal mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan Mak Siti. Ia menyadari bahwa di balik keindahan kain tenun ini, tersimpan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Ia pun tergerak untuk membantu mempromosikan hasil karya para pengrajin ini agar bisa dikenal lebih luas.
"Kami sangat berterima kasih atas perhatian Kang Ijal," ujar seorang pengrajin muda bernama Rina. "Semoga Ramadan ini membawa berkah bagi kita semua."
Kang Ijal tersenyum tulus. "Justru saya yang merasa beruntung bisa belajar banyak dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Semangat gotong royong dan keindahan budaya di Lembah Anai ini sungguh luar biasa."
Siang harinya, Kang Ijal dan timnya membantu para pengrajin mengemas beberapa helai kain tenun yang sudah selesai dibuat. Mereka juga berdiskusi tentang strategi pemasaran yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penjualan. Kang Ijal berjanji akan memanfaatkan jaringan yang dimilikinya untuk membantu mempromosikan produk tenun Lembah Anai.
Menjelang waktu berbuka, Kang Ijal dan para pengrajin berkumpul kembali di surau. Mereka berbagi hidangan sederhana namun penuh kehangatan. Suasana kebersamaan terasa begitu kental, seolah mereka telah saling mengenal sejak lama.
Di tengah lantunan azan Maghrib, Kang Ijal merasakan kedamaian yang mendalam. Ramadan di Lembah Anai telah memberikannya pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga silaturahmi, menghargai kearifan lokal, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Jejak keberkahan Ramadan kembali terukir di Bumi Andalas, menyulam silaturahmi di lembah yang indah ini. (end)
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)