Layar Ponsel yang Bergetar dan Janji yang Terukir
Papi, dengan rambut klimisnya yang selalu tertata sempurna, menatap layar ponselnya yang bergetar. Grup chat kelas berisik dengan notifikasi. "Guys, fix ya! Kita bikin perpisahan yang nggak bakal dilupain!" seru Casand, si biang ide dengan semangat membara.
"Setuju! Tapi konsepnya apa nih?" balas Regina, si perfeksionis yang selalu memikirkan detail.
"Gimana kalau... Malin Kundang Modern?" celetuk Shaza, si anak teater dengan imajinasi liar.
Sontak, ide itu disambut riuh rendah. Papi, yang selama ini dikenal sebagai sosok kebapakan di kelas, langsung didapuk menjadi "Papi Malin", seorang pemuda desa yang sukses di kota dan melupakan teman-teman lamanya. Casand kebagian peran ibu Malin yang terlupakan, dengan segala dramanya. Regina, tentu saja, menjadi narator yang elegan.
Latihan yang Penuh Gelak Tawa dan Debat Sengit
Latihan pertama diadakan di aula sekolah yang biasanya sepi. Rasya, si atletis yang kebagian peran teman Malin yang mencoba mengingatkan, tampak kaku melafalkan dialognya. Aiileen, si kalem yang memerankan istri "kota" Malin yang anggun, justru tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi bingung Rasya.
"Ras, coba lebih ekspresif! Kamu tuh lagi khawatir sahabatmu lupa daratan!" ujar Shaza sambil mencontohkan dengan dramatis.
"Iya, kayak gini nih, 'Malin! Kamu jangan lupain kita yang dulu susah bareng!'" imbuh Casand dengan air mata buatan yang sukses mengundang tawa.
Daffa, si teknisi andalan, sibuk mengatur tata suara dan lampu. Beberapa kali mic berdengung aneh, membuat Papi yang sedang berakting sombong terlonjak kaget. Davi, si tukang properti, kelimpungan mencari properti "kapal pesiar" yang akhirnya disepakati menggunakan kardus besar yang dihias seadanya.
Lika-liku semakin terasa saat adegan puncak. Casand harus berakting marah dan mengutuk Papi menjadi batu. Berbagai gaya marah diperagakan, mulai dari yang melas hingga yang meledak-ledak. Papi, dengan sabar, mencoba menahan tawa melihat tingkah polah "ibunya".
"Casand, kamu tuh ibunya yang sakit hati! Bukan ibu tiri yang jahat!" koreksi Regina dengan nada lembut namun tegas.
"Tapi kan dia udah lupa sama kita, Reg!" balas Casand dengan nada membela diri.
"Justru itu, sakit hatinya lebih dalam karena pengkhianatan!" timpal Shaza, semakin menghidupkan suasana debat.
Shalu, si pemusik yang bertanggung jawab atas iringan musik, juga tak kalah pusing. Mencari musik yang pas untuk adegan sedih, marah, hingga adegan "Malin" yang sukses, ternyata lebih rumit dari yang dibayangkan. Beberapa kali musiknya terasa terlalu mellow atau justru terlalu semangat.
Momentum yang Menguji Kekompakan
Menjelang hari-H, tantangan semakin besar. Beberapa anggota mulai panik dengan dialog yang belum hafal, gerakan blocking yang masih berantakan, dan properti yang belum sepenuhnya siap. Papi, yang biasanya tenang, terlihat sedikit tegang.
"Guys, kita bisa! Kita udah latihan keras selama ini," ujarnya mencoba menyemangati teman-temannya.
Casand, meskipun seringkali heboh, ternyata menjadi sosok yangSolid. Ia mengingatkan teman-teman untuk saling mendukung dan tidak saling menyalahkan. Regina, dengan ketelitiannya, membuat catatan kecil berisi poin-poin penting untuk setiap adegan. Shaza terus memberikan semangat dan ide-ide kreatif di saat-saat genting.
Rasya, Aiileen, Shalu, Daffa, dan Davi, meskipun awalnya terlihat kesulitan, menunjukkan kemauan belajar yang tinggi. Mereka rela berlatih di luar jam sekolah, saling membantu menghafal dialog, dan memastikan properti serta teknis berjalan lancar.
Pentas yang Memukau dan Air Mata Perpisahan
Tibalah hari perpisahan. Aula sekolah dipenuhi oleh guru, orang tua, dan adik kelas. Di balik panggung, Papi dan teman-temannya saling memberikan semangat terakhir.
Ketika lampu sorot menyala, mereka menjelma menjadi karakter-karakter Malin Kundang Modern. Papi berhasil memerankan sosok "Papi Malin" yang awalnya sukses dan sombong, hingga akhirnya menyesal saat bertemu kembali dengan "ibunya". Casand berhasil membuat penonton terhanyut dalam emosi "ibu" yang terlupakan. Regina dengan lantang membawakan narasi yang menghubungkan setiap adegan. Shaza, dengan sentuhan teaternya, membuat setiap adegan terasa hidup.
Malin kundang Modern |
Rasya dan Aiileen memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai teman dan istri "Malin". Shalu berhasil menciptakan suasana emosional melalui iringan musiknya. Daffa dan Davi memastikan semua aspek teknis berjalan tanpa hambatan.
Di akhir pementasan, tepuk tangan riuh menggema. Mereka berhasil membawakan cerita Malin Kundang dengan sentuhan modern yang menghibur sekaligus menyentuh. Namun, keharuan sebenarnya baru terasa saat kata-kata perpisahan mulai diucapkan.
Papi, dengan suara bergetar, menyampaikan rasa terima kasihnya atas kebersamaan selama ini. Casand tak kuasa menahan air mata saat mengenang suka duka bersama. Regina membacakan puisi perpisahan yang menyentuh hati. Shaza, Rasya, Aiileen, Shalu, Daffa, dan Davi juga menyampaikan pesan-pesan perpisahan yang penuh makna.
Air mata haru bercampur dengan senyum bahagia. Lika-liku latihan yang penuh tawa, debat, dan kerja keras, akhirnya bermuara pada perpisahan yang tak terlupakan. Mereka telah menciptakan kenangan indah bersama, sebuah "kutukan" persahabatan yang akan terus membekas di hati masing-masing, jauh lebih berharga dari kutukan batu Malin Kundang. Malam itu, mereka bukan hanya menampilkan sebuah drama, tetapi juga merayakan persahabatan yang telah terjalin erat selama bertahun-tahun.
Disclaimer :
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar